KETATANEGARAAN PADA MASA BANI UMAYYAH
Dosen : Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag
OLEH:
KELOMPOK VI
HASANUDDIN BATUBARA
NIM : 23151029
QUWWATUL KAMILAH ABKHO LBS
NIM : 23151007
PROGRAM STUDI SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
2016-2017
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji serta syukur
selalu kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT. yang masih memberikan kita,
terkhusus pula pada kami selaku pemakalah kesehatan, kesempatan sehingga bisa
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Sholawat serta salam mari kita
hadiahkan kepada Rasulullah SAW. yang telah membawa kita kepada zaman yang
penuh dengan ilmu pengetahuan ini.
Tak lupa pula kami
ucapkan ribuan terimakasih pada Bapak Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag selaku dosen
kami pada Mata Kuliah Fiqh Siyasah yang telah memberikan tugas ini yang
berjudul “Ketatanegaraan Pada Masa Bani Umayyah”. Dan kami memohon maaf
karena kami sangat menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan pada makalah kami
ini, untuk itulah kiranya pembaca dapat memberikan kritik serta sarannya demi
kelancaran dalam penulisan makalah ini. Semoga kiranya makalah ini dapat
bermanfaat guna menambah pengetahuan bagi semua pembaca.
Medan, 7
Januari 2017
Kelompok
VI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa
ketatanegaraan Bani Umayyah lahir setelah Ali bin Abi Thalib tewas terbunuh dan
Hasan bin Ali menjadi khalifah di Kuffah. Dan di Syam kedudukan Muawiyah pun
semakin kukuh didukung oleh pendukungnya.
Bani Umayyah itu
pada hakikatnya semula telah menginginkan jabatan khalifah itu, tetapi mereka
belum mempunyai harapan untuk mencapaicita-cita itu pada masa Abu Bakar
Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab. Dan setelah Umar tewas ditikam, kemudian ia
menyerahkan permusyawaratan untuk memiliki khalifah yang baru kepada enam orang
sahabat.
Bani Umayyah
barulah masuk Agama Islam setelah mereka tidak dapat menemukan jalan lain
selain memasukinya, yaitu ketuka Nabi Muhammad bersama beribu-ribu pengikutnya
yang benar-benar percaya kepada Rasulullah dan pemimpinnya menyerbu masuk ke
kota Mekkah.
B. Rumusan Masalah
2. Bagaimana corak pemerintahan Bani Umayyah?
3. Apa penyebab kemunduran dan kehancuran Bani Umayyah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Berdirinya Bani Umayyah
Serangkaian
peristiwa penting mengawali Periode Klasik sejarah perkembangan umat islam :
Perang Siffin (657 M), Tahkim (658 M), dan Amul Jama’ah (661M ). Rangkaian
peristiwa ini menjadi awal naiknya Bani Umayyah ke tangga puncak kekuasaan atas
umat islam.
Setelah
Khalifah Usman bin Affan terbunuh, Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi
khalifah. Namun, ternyata tidak seluruh kaum muslim mau membaiatnya, termasuk
Muawiyah yang saat itu menjadi Gubernur Syam. Muawiyah bersedia membaiat Ali
jika para pembunuh Khalifah Usman sudah diadili. Perlu diketahui bahwa Muawiyah
merasa berhak menuntut keadilan atas tumpahnya darah Usman karena keduanya
masih mengadili para pembunuh Usman bukan perkara mudah, karena dilakukan oleh
banyak orang.
Akibat
penentangan Muawiyah, pecahlah perang Siffin pada tahun 657 M. ketika
tentaranya terdesak, pihak Muawiyah meminta Arbitrase dengan pihak Ali.
Peristiwa yang mengakhiri perang Siffin ini dikenal dengan sebutan Tahkim.
Tahkim dimulai dengan melaksanakannya perundingan untuk menentukan utusan
tiap-tiap pihak. Pada perundingan tersebut, pihak Muawiyah yamg diwakili Amr
bin Ash mengkhianati hasil kesepakatan dengan menyatakan Muawiyah tetap sebagai
Gubernur Syiria.[1]
Beberapa tahun
setelah tahkim khalifah Ali terbunuh tepatnya pada 19 Ramadhan 40 H/670 M. Dengan terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib oleh bekas
pengikutnya sendiri ini, maka keadaan poilitik umat Islam semakin tidak
menentu, dan kekacauan semakin meluas. Oleh sebab itu para pengikut Ali bin Abi
Thalib dan umat Islam di Kufah, Bashrah dan Madinah melakukan baiat kepada
Hasan bin Ali sebagai khalifah menggantikan ayahnya. Baiat yang di pimpin oleh
Qais bin Saad ini bukan merupakan rekayasa, tatapi karena tidak ada pilihan
lain saat itu. Umat Islam menyadari, bahwa Hasan bukan tokoh yang tegas dan
tegar seperti ayahnya, tetapi umat Islam membutuhkan pemimpin yang kharismatik
dan shalih.
Pengangkatan atas Hasan bin Ali sebagai khalifah ini tetap tidak
mendapat persetujuan dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan para pengikutnya. Mereka
berharap sebagai pengganti Ali adalah Mu’awiyah. Oleh sebab itu Mu’awiyah
berusaha merebut kekuasaan dari Hasan, dengan cara membendung arus masa
pendukung Hasan, khususnya dari Kufah dan Bashrah. Ia sudah mempunyai kekuatan
yang besar, sementara Hasan mempunyai banyak kelemahan dan tidak sekuat
ayahnya. Kondisi yang demikian ini tidak disia-siakan oleh Mu’awiyah. Ia segera
menyusun pasukan untuk menyerang Hasan bin Ali.
Melihat kondisi demikian, Qais bin Saad dan Abdullah bin Abbas
mengusulkan kepada Hasan agar melakukan serangan ke Damaskus, sebelum diserang
Mu’awiyah. Usul kedua tokoh ini diterima oleh Hasan, yang kemudian ia
memberangkatkan pasukan dengan kekuatan 12.000 tentara di bawah pimpinan kedua
tokoh tersebut. Pasukan Hasan ini kemudian bertemu dengan pasukan Mu’awiyah dan
terjadilah pertempuran di Madain. Mu’awiyah tiak hanya melakukan peperangan
fisik, tetapi mereka menggunakan perang urat syaraf dengan menyebarkan berbagai
macam isu untuk melemahkan kekuatan pasukan Hasan. Akibatnya pasukan Hasan
terpengaruh dan mulai lemah dalam peperangan, mereka ingin mengakhiri
peperangan, bahkan sebagian mulai berbalik dengan tidak menyukai Hasan.
Sehingga Hasan akhirnya terpaksa memlilih jalan negosiasi dengan Mu’awiyah
untuk mengakhiri perseteruan di antara mereka. Hasan bin Ali mengirim utusan
Amr bin Salmah untuk mengajak perdamaian. Hasan bersedia menyerahkan kekuasaan
kepada Mu’awiyah dengan berbagai persyaratan, antara lain menyerahkan harta
baitul Mal kepada Hasan untuk menutup kerugian peperangan yang dilakukannya.
Dan pihak Mu’wiyah tidak mencaci maki bapaknya dan keluarganya lagi. Muawiyah
juga harus meneruskan kebijakan ayahnya terhadap para ahli Madinah, Kufah dan
Bashrah untuk tidak menarik sesuatu dari mereka. Dan yang paling penting
permintaan Hasan adalah sepeninggal Mu’awiyah menjadi Khalifah, kekhalifahan harus
diserahkan kepada Umat Islam melalui pemilihan umum.[2]
Semua permintaan Hasan ini disetujui oleh Mu’awiyah. Kemudian
keduanya bertemu di salah satu tempat yang dikenal dengan nama Maskin untuk
mengadakan serah terima kekuasaan dan kemudian Hasan melakukan baiat kepada
Mu’awiyah sebagai Khalifah. Hasan kemudian meminta para pendukungnya untuk
melakukan baiat kepada Mu’awiyah sabagai Khalifah umat Islam. Akan tetapi
karena alasan-alasan tertentu tidak semua pendukung Hasan bersedia melakukan
bai’at, khususnya ahli Bashrah. Mu’awiyah terus mempropagandakan dirinya untuk
mendapatkan pengakuan sebagai khalifah. Karena bagaimanapun juga Hasan sudah
menyerahkan kekhalifahan kepadanya.
Peristiwa ini menandakan rekonsiliasi umat Islam (Am al-Jama’ah)
artinya tahun di mana umat Islam bersatu kembali dalam satu kepemimpian,
setelah umat Islam bertikai beberapa tahun lamanya. Hasan melakukan baiat
terhadap Muawiyah pada tahun 41 H/661 M.[3]
Jabatan tertinggi umat Islam secara de facto dan de jure berada di tangan Mu’awiyah
bin Abi sufyan. Terlepas apakah untuk memperoleh kekuasaan itu dilakukan dengan
cara paksa atau tidak, dan terlapas apakah persyaratan yang diminta oleh Hasan
akan dipenuhi oleh Mu’awiyah atau tidak, yang jelas kekuasaan khilafah dipegang
oleh Mu’awiyah, dan sudah tidak ada lagi kelompok yang mengaku berkuasa dan
menentangnya.
Umat Islam mulai dengan lembaran baru. Daulah Bani Umayah berdiri
(41 – 132 H/661 – 750 M.) tatanan politik dan pemerintahan yang dibangun oleh
Khulafaur Rasyidin berubah dengan sistem politik dan pemerintahan baru yang
dilakukan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan para khalifah penggantinya.[4]
B. Ketatanegaraan Bani Umayyah
Bani Umayyah
berkuasa sejak 41 H/661 M sampai dengan 133 H/750 M. Muawiyah bin Abi Sufyan
merupakan pendiri Dinasti Bani Umayyah. Dan ia juga merupakan khalifah pertama
yang namanya disejajarkan dengan Khulafaur Rasyidin. Bahkan kesalahannya yang
menghianati prinsip pemilihan kepala negara oleh rakyat dapat dilupakan karena
jasa-jasanya[5]
dan kebijaksanaan politiknya yang mengagumkan.[6]
Dinasti Bani Umayyah berkuasa hampir
satu abad, dengan 14 orang khalifah. Dimulai dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan
ditutup oleh Marwan bin Muhammad. Adapun urutan khalifah Bani Umayyah adalah
sebagai berikut:[7]
1. Muawiyah bin Abi Sufyan (42-60 H/661-680 M)
2. Yazid bin Muawiyah (60-64 H/680-683 M)
3. Muawiyah bin Yazid (64 H/683 M)
4. Marwan bin Hakam (64-65 H/684-685 M)
5. Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705 M)
6. Al- Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-715 M)
7. Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)
8. Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)
9. Yazid bin Abdul Malik bin Marwan (101 H/720 M)
10. Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)
11. Al- Walid bin Yazid bin Abdul Malik (125-126 H/743-744 M)
12. Yazid an-Naqis bin al-Walid (126 H/744 M)
13. Ibrahim bin al-Walid bin Abdul Malik (126 H/744 M)
14. Marwan bin Muhammad (127-132 H/744-750 M)
Sebagai
administrator yang ulung dan politikus yang cerdik, Muawiyah memainkan
peranannya memimpin Dunia Islam yang luas tersebut. Ia merangkul kembali
tokoh-tokoh yang pernah dipecat oleh Ali. Sebelumnya, ia telah merangkul Amr
bin Ash sebagai mediatornya dalam tahkim dengan Ali. Ini merupakan salah satu
kelihaian Muawiyah. Padahal, ketika Usman bin Affan berkuasa, Amr pernah
dipecat dari Gubernur Mesir. Amr merupakan diplomat ulung yang tenaga dan
pikirannya sangat dibutuhkan oleh Muawiyah dalam menjalankan pemerintahannya.
Selain itu, Al-Mughirah ibn Syu’bah diangkat menjadi Gubernur di Kufah dengan
tugas khusus menumpas perlawanan pendukun Ali yang masih setia. Ziyad bin Abihi
yang semula mendukung Ali pun dirangkulnya dengan cara menasabkannya dengan
ayahnya (Abu Sufyan) dan mengangkatnya sebagai gubernur Bashrah. Ziyad bertugas
mengamankan Persia bagian selatan dari rongrongan oposisi.
Setelah merasa
aman, mulailah Muawiyah membenahi negara dan melakukan berbagai kebijakan
politik. Perubahan politik yang dilakukan Muawiyah adalah memindahkan ibu kota
negara ke Damaskus. Kota ini adalah “kampung halaman” kedua baginya dan
merupakan basis Muawiyah dalam memperoleh dukungan rakyat. Selain jauh dari
pusat oposisi di Kufah, Damaskus terletak diantara daerah-daerah kekuasaan Bani
Umayyah.[8]
Perubahan lain
yang dilakukan Muawiyah adalah menggantikan sistem pemerintahan yang bercorak
syura menjadi sistem kerajaan atau monarki.[9]
Berbeda dengan empat khalifah sebelumnya, Muawiyah tidak menyerahkan masalah
ini kepada umat Islam, tetapi menunjuk puteranya sendiri, yakni Yazid sebagai
penggantinya. Kemudian Muawiyah agaknya meniru corak kerajaan yang berkembang
di Persia dan Romawi.
Dalam perluasan
wilayah, Muawiyah dan dinasti Bani Umayyah umumnya, melakukan berbagai
penaklukan. Setidaknya, ekspansi ini meliputi tiga front, yaitu front
pertempuran menghadapi bangsa Romawi di Asia kecil, Konstantinopel dan
pulau-pulau di Laut Tengah ; front Afrika Utara dari Selat Gibraltar hingga
Spanyol; dan front timur hingga Sindus, India. Hingga akhir Bani Umayyah pada
750 M, kekuasaan Islam sudah mencapai Lautan Atlantik di barat dan Lembah Indus
di timur.
Untuk pertama
kalinya, Muawiyah memperkenalkan lembaga pengawal pribadi (hajib) dalam sistem
pemerintahan. Para pengawal inilah yang menjalankan tugas protokoler khalifah
dalam menentukan dan menerima siapa yang berhak untuk bertemu khalifah. Selain
karena tragedi Ali yang tewas terbunuh, Muawiyah juga mendapat inspirasi
pelembagaan hajib ini dari pengaruh Syam dan Persia. Muawiyah tidak ingin
tragedi yang menimpa Ali terjadi pada dirinya. Ia sadar bahwa orang-orang yang
tidak senang padanya, terutama kelompok Syi’ah, selalu berusaha mencelakakan
dirinya. Dalam perkembangannya para hajib ini memiliki kekuasaan yang luas,
karena merekalah yang mengatur pertemuan pejabat-pejabat negara lainnya,
delegasi negara sahabat maupun anggota masyarakat dengan khalifah.
Struktur
pemerintahan pusat terdiri dari lima departemen :[10]
1. Diwan al-Jund (militer)
2. Diwan al-Kharaj (perpajakan dan keuangan)
3. Diwan al-Rasa’il (surat menyurat)
4. Diwan al-Khatam (arsip dan dokumentasi negara)
5. Diwan al-Barid (layanan pos dan registrasi penduduk)
Masing-masing dari
dewan dipimpin oleh seorang sekretaris. Dalam pemerintahan daerah, wilayah
kekuasaan Bani Umayyah dibagi menjadi lima provinsi besar, yaitu : 1)Hijaz,
Yaman, dan Arabia, 2)Mesir bagian utara dan selatan, 3)Irak dan Persia,
4)Mesopatamia, Armenia, dan Azarbaijan 5)Afrika utara, Spanyol, Prancis bagian
selatan, Sisilia, dan Sardinia. Tiap-tiap provinsi dipimpin oleh seorang
gubernur yang bertugas menjalankan administrasi politik dan militer untuk
wilayah masing-masing.
Bani umayyah juga
mencatat dalam sejarah perkembangan yang pesat dalam perokonomian dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pada masa pemerintahan Abdul Malik bin
Marwan, alat tukar mata uang Bizantium dan Persia yang berlaku sebelumnya
diganti dengan mata uang dicetak sendiri dan memakai bahasa arab. Kemudian pada
masa pemerintahan al-Walid bin Abdul Malik Daulah Umayyah mengalami puncak
kemakmuran. Ia memberi jaminan hidup untuk anak yatim dan orang yang cacat
serta menyediakan pendidikan untuk mereka.
Pada masa Bani
Umayyah yang menjadi hal penting yang menunjang pendapatan negara adalah zakat
dari umat Islam, rampasan perang (ghanimah), pajak atas tanah dari warga
non-muslim (kharaj), pajak perdagangan (usyr), dan pajak kepala warga
non-muslim (jizyah). Sumber keuangan ini dimanfaatkan untuk menjalankan
pemerintahan dan kesejahteraan masyarakat.[11]
C.
Kelemahan
dan Kehancuran Bani Umayyah
Kekuasaan wilayah Bani Umayyah yang
sangat luas dalam waktu yang singkat tidak berbanding lurus dengan komunikasi
yang baik, menyebabkan kadang-kadang suatu wilayah situasi keamanan dan
kejadian-kejadian tidak segera diketahui oleh pusat. Di samping itu kemunduran
Bani Umayyah tidak terlepas dari pengaruh sikap dan kebijakan khalifah ataupun
gubernur Bani Umayyah itu sendiri.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan
kemunduran dan kehancuran Bani Umayyah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
1. Faktor Internal, yaitu faktor yang berasal dari dalam istana, antara lain:
a) Perselisihan antar keluarga khalifah.
Perselisiha antar keluarga khalifah,
yaitu para putra mahkota yang menjadikan rapuhnya kekuatan kekhalifahan.
Apabila yang pertama memegang kekuasaan, maka ia berusaha untuk mengasingkan
yang lain dan menggantikannya dengan anaknya sendiri. Hal ini menimbulkan permusuhan dalam keluarga dan tidak hanya
terbatas pada tingkat khalifah dan gubernur saja.[12]
b)
Moralitas
Khalifah atau gebernur yang jauh dari konsep Islam
Kekayaan Bani Umayyah disalah gunakan
oleh khalifah ataupun gubernur untuk hidup berfoya-foya, bersuka ria dalam
kemewahan, terutama pada masa Khalifah Yazid II naik tahta. Ia terpikat pada
dua biduanitanya, Sallamah dan Hababah serta suka minum-minuman keras yang
berlebihan. Namun gelar peminum terhebat dipegang anaknya, al-Walid II yang
terkenal keras kepala dan suka berfoya-foya. Ia diriwayatkan terbiasa berendam
di kolam anggur, yang biasa ia minum airnya hingga kedalamannya berkurang.
Kemudian para wazir dan panglima Bani Umayyah
sudah mulai korupsi dan mengendaliakan negara karena para khalifah pada saat
itu sangat lemah.
2. Faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar istana,antara lain:
a) Perlawanan dari Kaum Khawarij
Semenjak berdirinya Dinasti Umayyah,
para khalifahnya sering menghadapi tantangan dari golongan Khawarij. Golongan
ini memandang bahwa Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah telah melakukan dosan besar.
Perbedaan pandangan politik antara Khawarij, Syi’ah dan Muawiyah menjadikan
Khawarij mengangkat pemimpin dikalangannya sendiri. Hal ini tentu mempengaruhi
stabilitas politik pada masa itu.
b)
Perlawanan
dari Kaum Syi’ah.
Kaum Syi’ah yang tidak pernah
menyetujui pemerintahan Dinasti Umayyah dan tidak pernah memaafkan kesalahan
mereka terhadap Ali dan Hasan semakin aktif
dan mendapat dukungan publik. Di sisi mereka berkumpul orang-orang yang
merasa tidak puas, baik dari sisi politik, ekonomi maupun sosial terhadap
pemerintahan Bani Umayyah.[13]
c)
Perlawanan
Golongan Mawali
Asal mula Mawali yaitu budak-budak
tawanan perang yang telah dimerdekakan kemudian istilah ini berkembang pada
orang Islam bukan Arab. Secara teoritis, orang Mawali memiliki derajat yang
sama dengan orang Arab. Namun itu tidak sepenuhnya tampak pada dinasti Umayyah
bahkan mereka memandang kelompok Mawali sebagai masyarakat bawahan sehingga
terbukalah jurang sosial yang memisahkan. Padahal orang Mawali ini turut serta
berjuang membela Islam dan Bani Umayyah, mereka adalah basis infantry yang
bertempur dengan kaki telanjangdi atas panasnya pasir, tidak di atas unta
maupun kuda. Basis militer ini kemudian bergabung dengan gerakan anti
pemerintah, yakni pihak Abbasiyah dan Syiah.[14]
d)
Pertentangan
etnis Arab Utara dengan Arab Selatan.
Pada masa kekuaasaan Bani Umayyah,
pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qaisy) dan Arabia Selatan
(Bani Qalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam makin meruncing.n Apabila khalifah tersebut berasal
atau lebih dekat dengan Arab Selatan, Arab Utara akan iri demikian pula
sebaliknya. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat
kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan.
e)
Perlawanan
dari Golongan Abbasiyah
Keluarga Abbas, para keturunan paman
Rasulullah mulai bergerak aktif dan menegaskan tuntutan mereka untuk menduduki
pemerintahan. Dengan cerdik, mereka bergabung dengan pendukung Ali dan
menekankan hak keluarga Hasyim. Dengan memanfaatkan kekecewaan publik dan
menampilkan diri sebagai pembela sejati agama Islam, para keturunan Abbas
segera menjadi pemimpin gerakan anti Umayyah.[15]
Inilah
faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran yang membawa kehancuran bagi Bani
Umayyah. Apalagi ketika tiga gerakan terbesar yakni Abasiyah, Syi’ah dan Mawali
bergabung dalam gerakan koalisi untuk menumbangkan kekuasaan dinasti Bani
Umayyah dan bertujuan mendirikan kerajaan baru yang ideal.
Dengan
demikian, berakhirlah kekuasaan Bani Umayyah di Damaskus yang telah dirintis
oleh Muawiyah bin Abi Sufyan dan ditandai dengan terbunuhnya Marwan bin
Muhammad sebagai khalifah dari Bani Umayyah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Keberhasilan
Muawiyah mendirikan Dinasti Bani Umayyah bukan hanya akibat dari kemenangan
diplomasi di Siffin dan terbunuhnya khalifah Ali saja, dari sejak semula
gubernur suriah itu memiliki basis rasional yang solid bagi landasan
pembangunan politikya dimasa depan. Pertama, dukungan yang kuat dari rakyat
Suriah dan dari keluarga Bani Umayyah sendiri. Kedua, sebagai seorang
administrator, Muawiyah sangat bijaksana dalam menempatan para pembantunya pada
jabatan-jabatan penting. Ketiga, Muawiyah memiliki kemampuan menonjol sebagai
negarawan.
Corak sistem
pemerintahan Bani Umayyah adalah Muawiyah telah merubah gaya kepemerintahan
menjadi sistem kerajaan atau monarki. Langkah ini ia lakukan karena ambisinya
untuk menguasai dunia Islam yang harus dipimpin oleh golongannya sendiri.
Kemunduran dan
kehancuran Bani Umayyah dibagi menjadi dua faktor, yaitu faktor internal disebabkan
karena perselisihan antar keluarga khalifah serta moralitas khalifah yang jauh
dari konsep agama Islam. Sedangkan faktor eksternal adalah perlawanan dari Kaum
Khawarij, Kaum Syiah, golongan Mawali, adanya pertentangan antara Arab Utara
dengan Arab Selatan serta puncaknya ketika adanya perlawanan dari Golongan
Abbasiyah .
END NOTES
[2]
Abdul Hakim al-Afifi,
1000 Peristiwa dalam Islam, hal. 101
[3] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah :
“Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam”, (Jakarta : Kencana, 2014) hal. 89
[4] Ajid Thohir, Perkembangan
Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta : Rajawali Pers, 2004), hal. 33
[5] Jasa-jasa Muawiyah yaitu membawa kepemerintahannya
menjadi pemerintahan yang paling cemerlang diantara masa-masa khalifah secara
keseluruhan, keamanan dalam negeri begitu baik begitu pula tentang hubungan
luar negeri, kaum muslimin mencapai kemenangan yang gemilang. Ahmad Syalabi, Sejarah
dan Kebudayaan Islam 2, (Jakarta : PT. Al Husna Zikra, 1995), hal. 48
[6] Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab,
hal. 73
[7] Ahmad Syalabi, Op.Cit., hal. 25
[9] Monarki adalah sistem pemerintahan yang
dikepalai oleh seorang raja. Pada masa Muawiyah bin Abi Sufyan, suksesi
kekuasaan yang bersifat monarchiheridetis (kepemimpinan secara turun-temurun)
mulai diperkenalkan.
[10] Ibid., hal. 92
[11] Ibid,. hal. 95
[12]
Badri Yatim, Op. Cit., hal. 48
[13] K. Ali , Sejarah Islam (Tarikh
Pramodern), (Cet. 3 ; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 228
[14]
Muhammad Mansyur Amin, Sejarah Peradaban Islam, (
Bandung: Indonesian Spirit Foundation, 2004), hal. 101
[15]
Badri Yatim, Loc. Cit.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, K. Sejarah Islam (Tarikh
Pramodern), Cet. 3 ; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Amin, Muhammad Mansyur. Sejarah
Peradaban Islam, Bandung: Indonesian
Spirit Foundation, 2004.
Iqbal, Muhammad. Fiqh
Siyasah : “Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam”, Jakarta : Kencana,
2014.
Hakim al-Afifi, Abdul. 1000 Peristiwa dalam Islam.
Mufrodi, Islam di Kawasan
Kebudayaan Arab.
Syalabi, Ahmad. Sejarah
dan Kebudayaan Islam 2, Jakarta : PT. Al Husna Zikra, 1995.
Thohir, Ajid. Perkembangan
Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 2004.
Yatim,
Badri. Sejarah Peradaban Islam,
Cet. 16 ; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
0 komentar:
Posting Komentar