Senin, 16 Januari 2017

KETATANEGARAAN PADA MASA BANI UMAYYAH

KETATANEGARAAN PADA MASA BANI UMAYYAH
Dosen : Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag

OLEH:
KELOMPOK VI
HASANUDDIN BATUBARA
NIM : 23151029
QUWWATUL KAMILAH ABKHO LBS
NIM : 23151007
 
PROGRAM STUDI SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
2016-2017


KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
         Puji serta syukur selalu kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT. yang masih memberikan kita, terkhusus pula pada kami selaku pemakalah kesehatan, kesempatan sehingga bisa menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Sholawat serta salam mari kita hadiahkan kepada Rasulullah SAW. yang telah membawa kita kepada zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan ini.
            Tak lupa pula kami ucapkan ribuan terimakasih pada Bapak Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag selaku dosen kami pada Mata Kuliah Fiqh Siyasah yang telah memberikan tugas ini yang berjudul “Ketatanegaraan Pada Masa Bani Umayyah”. Dan kami memohon maaf karena kami sangat menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan pada makalah kami ini, untuk itulah kiranya pembaca dapat memberikan kritik serta sarannya demi kelancaran dalam penulisan makalah ini. Semoga kiranya makalah ini dapat bermanfaat guna menambah pengetahuan bagi semua pembaca.


Medan, 7 Januari 2017

                                                                                                                                         Kelompok VI


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Masa ketatanegaraan Bani Umayyah lahir setelah Ali bin Abi Thalib tewas terbunuh dan Hasan bin Ali menjadi khalifah di Kuffah. Dan di Syam kedudukan Muawiyah pun semakin kukuh didukung oleh pendukungnya.
            Bani Umayyah itu pada hakikatnya semula telah menginginkan jabatan khalifah itu, tetapi mereka belum mempunyai harapan untuk mencapaicita-cita itu pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab. Dan setelah Umar tewas ditikam, kemudian ia menyerahkan permusyawaratan untuk memiliki khalifah yang baru kepada enam orang sahabat.
            Bani Umayyah barulah masuk Agama Islam setelah mereka tidak dapat menemukan jalan lain selain memasukinya, yaitu ketuka Nabi Muhammad bersama beribu-ribu pengikutnya yang benar-benar percaya kepada Rasulullah dan pemimpinnya menyerbu masuk ke kota Mekkah.


B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana proses naiknya Bani Umayyah ke puncak politik Islam?
2.      Bagaimana corak pemerintahan Bani Umayyah?
3.      Apa penyebab kemunduran dan kehancuran Bani Umayyah?

 
BAB II
PEMBAHASAN


A.    Berdirinya Bani Umayyah
Serangkaian peristiwa penting mengawali Periode Klasik sejarah perkembangan umat islam : Perang Siffin (657 M), Tahkim (658 M), dan Amul Jama’ah (661M ). Rangkaian peristiwa ini menjadi awal naiknya Bani Umayyah ke tangga puncak kekuasaan atas umat islam.
Setelah Khalifah Usman bin Affan terbunuh, Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah. Namun, ternyata tidak seluruh kaum muslim mau membaiatnya, termasuk Muawiyah yang saat itu menjadi Gubernur Syam. Muawiyah bersedia membaiat Ali jika para pembunuh Khalifah Usman sudah diadili. Perlu diketahui bahwa Muawiyah merasa berhak menuntut keadilan atas tumpahnya darah Usman karena keduanya masih mengadili para pembunuh Usman bukan perkara mudah, karena dilakukan oleh banyak orang.
Akibat penentangan Muawiyah, pecahlah perang Siffin pada tahun 657 M. ketika tentaranya terdesak, pihak Muawiyah meminta Arbitrase dengan pihak Ali. Peristiwa yang mengakhiri perang Siffin ini dikenal dengan sebutan Tahkim. Tahkim dimulai dengan melaksanakannya perundingan untuk menentukan utusan tiap-tiap pihak. Pada perundingan tersebut, pihak Muawiyah yamg diwakili Amr bin Ash mengkhianati hasil kesepakatan dengan menyatakan Muawiyah tetap sebagai Gubernur Syiria.[1]
Beberapa tahun setelah tahkim khalifah Ali terbunuh tepatnya pada 19 Ramadhan 40 H/670 M. Dengan terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib oleh bekas pengikutnya sendiri ini, maka keadaan poilitik umat Islam semakin tidak menentu, dan kekacauan semakin meluas. Oleh sebab itu para pengikut Ali bin Abi Thalib dan umat Islam di Kufah, Bashrah dan Madinah melakukan baiat kepada Hasan bin Ali sebagai khalifah menggantikan ayahnya. Baiat yang di pimpin oleh Qais bin Saad ini bukan merupakan rekayasa, tatapi karena tidak ada pilihan lain saat itu. Umat Islam menyadari, bahwa Hasan bukan tokoh yang tegas dan tegar seperti ayahnya, tetapi umat Islam membutuhkan pemimpin yang kharismatik dan shalih.
Pengangkatan atas Hasan bin Ali sebagai khalifah ini tetap tidak mendapat persetujuan dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan para pengikutnya. Mereka berharap sebagai pengganti Ali adalah Mu’awiyah. Oleh sebab itu Mu’awiyah berusaha merebut kekuasaan dari Hasan, dengan cara membendung arus masa pendukung Hasan, khususnya dari Kufah dan Bashrah. Ia sudah mempunyai kekuatan yang besar, sementara Hasan mempunyai banyak kelemahan dan tidak sekuat ayahnya. Kondisi yang demikian ini tidak disia-siakan oleh Mu’awiyah. Ia segera menyusun pasukan untuk menyerang Hasan bin Ali.
Melihat kondisi demikian, Qais bin Saad dan Abdullah bin Abbas mengusulkan kepada Hasan agar melakukan serangan ke Damaskus, sebelum diserang Mu’awiyah. Usul kedua tokoh ini diterima oleh Hasan, yang kemudian ia memberangkatkan pasukan dengan kekuatan 12.000 tentara di bawah pimpinan kedua tokoh tersebut. Pasukan Hasan ini kemudian bertemu dengan pasukan Mu’awiyah dan terjadilah pertempuran di Madain. Mu’awiyah tiak hanya melakukan peperangan fisik, tetapi mereka menggunakan perang urat syaraf dengan menyebarkan berbagai macam isu untuk melemahkan kekuatan pasukan Hasan. Akibatnya pasukan Hasan terpengaruh dan mulai lemah dalam peperangan, mereka ingin mengakhiri peperangan, bahkan sebagian mulai berbalik dengan tidak menyukai Hasan. Sehingga Hasan akhirnya terpaksa memlilih jalan negosiasi dengan Mu’awiyah untuk mengakhiri perseteruan di antara mereka. Hasan bin Ali mengirim utusan Amr bin Salmah untuk mengajak perdamaian. Hasan bersedia menyerahkan kekuasaan kepada Mu’awiyah dengan berbagai persyaratan, antara lain menyerahkan harta baitul Mal kepada Hasan untuk menutup kerugian peperangan yang dilakukannya. Dan pihak Mu’wiyah tidak mencaci maki bapaknya dan keluarganya lagi. Muawiyah juga harus meneruskan kebijakan ayahnya terhadap para ahli Madinah, Kufah dan Bashrah untuk tidak menarik sesuatu dari mereka. Dan yang paling penting permintaan Hasan adalah sepeninggal Mu’awiyah menjadi Khalifah, kekhalifahan harus diserahkan kepada Umat Islam melalui pemilihan umum.[2]
Semua permintaan Hasan ini disetujui oleh Mu’awiyah. Kemudian keduanya bertemu di salah satu tempat yang dikenal dengan nama Maskin untuk mengadakan serah terima kekuasaan dan kemudian Hasan melakukan baiat kepada Mu’awiyah sebagai Khalifah. Hasan kemudian meminta para pendukungnya untuk melakukan baiat kepada Mu’awiyah sabagai Khalifah umat Islam. Akan tetapi karena alasan-alasan tertentu tidak semua pendukung Hasan bersedia melakukan bai’at, khususnya ahli Bashrah. Mu’awiyah terus mempropagandakan dirinya untuk mendapatkan pengakuan sebagai khalifah. Karena bagaimanapun juga Hasan sudah menyerahkan kekhalifahan kepadanya.
Peristiwa ini menandakan rekonsiliasi umat Islam (Am al-Jama’ah) artinya tahun di mana umat Islam bersatu kembali dalam satu kepemimpian, setelah umat Islam bertikai beberapa tahun lamanya. Hasan melakukan baiat terhadap Muawiyah pada tahun 41 H/661 M.[3] Jabatan tertinggi umat Islam secara de facto dan de jure berada di tangan Mu’awiyah bin Abi sufyan. Terlepas apakah untuk memperoleh kekuasaan itu dilakukan dengan cara paksa atau tidak, dan terlapas apakah persyaratan yang diminta oleh Hasan akan dipenuhi oleh Mu’awiyah atau tidak, yang jelas kekuasaan khilafah dipegang oleh Mu’awiyah, dan sudah tidak ada lagi kelompok yang mengaku berkuasa dan menentangnya.
Umat Islam mulai dengan lembaran baru. Daulah Bani Umayah berdiri (41 – 132 H/661 – 750 M.) tatanan politik dan pemerintahan yang dibangun oleh Khulafaur Rasyidin berubah dengan sistem politik dan pemerintahan baru yang dilakukan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan para khalifah penggantinya.[4]

B.     Ketatanegaraan Bani Umayyah
            Bani Umayyah berkuasa sejak 41 H/661 M sampai dengan 133 H/750 M. Muawiyah bin Abi Sufyan merupakan pendiri Dinasti Bani Umayyah. Dan ia juga merupakan khalifah pertama yang namanya disejajarkan dengan Khulafaur Rasyidin. Bahkan kesalahannya yang menghianati prinsip pemilihan kepala negara oleh rakyat dapat dilupakan karena jasa-jasanya[5] dan kebijaksanaan politiknya yang mengagumkan.[6]
Dinasti Bani Umayyah berkuasa hampir satu abad, dengan 14 orang khalifah. Dimulai dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan ditutup oleh Marwan bin Muhammad. Adapun urutan khalifah Bani Umayyah adalah sebagai berikut:[7]

1.      Muawiyah bin Abi Sufyan (42-60 H/661-680 M)
2.      Yazid bin Muawiyah (60-64 H/680-683 M)
3.      Muawiyah bin Yazid (64 H/683 M)
4.      Marwan bin Hakam (64-65 H/684-685 M)
5.      Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705 M)
6.      Al- Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-715 M)
7.      Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)
8.      Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)
9.      Yazid bin Abdul Malik bin Marwan (101 H/720 M)
10.  Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)
11.  Al- Walid bin Yazid bin Abdul Malik (125-126 H/743-744 M)
12.  Yazid an-Naqis bin al-Walid (126 H/744 M)
13.  Ibrahim bin al-Walid bin Abdul Malik (126 H/744 M)
14.  Marwan bin Muhammad (127-132 H/744-750 M)
            Sebagai administrator yang ulung dan politikus yang cerdik, Muawiyah memainkan peranannya memimpin Dunia Islam yang luas tersebut. Ia merangkul kembali tokoh-tokoh yang pernah dipecat oleh Ali. Sebelumnya, ia telah merangkul Amr bin Ash sebagai mediatornya dalam tahkim dengan Ali. Ini merupakan salah satu kelihaian Muawiyah. Padahal, ketika Usman bin Affan berkuasa, Amr pernah dipecat dari Gubernur Mesir. Amr merupakan diplomat ulung yang tenaga dan pikirannya sangat dibutuhkan oleh Muawiyah dalam menjalankan pemerintahannya. Selain itu, Al-Mughirah ibn Syu’bah diangkat menjadi Gubernur di Kufah dengan tugas khusus menumpas perlawanan pendukun Ali yang masih setia. Ziyad bin Abihi yang semula mendukung Ali pun dirangkulnya dengan cara menasabkannya dengan ayahnya (Abu Sufyan) dan mengangkatnya sebagai gubernur Bashrah. Ziyad bertugas mengamankan Persia bagian selatan dari rongrongan oposisi.
            Setelah merasa aman, mulailah Muawiyah membenahi negara dan melakukan berbagai kebijakan politik. Perubahan politik yang dilakukan Muawiyah adalah memindahkan ibu kota negara ke Damaskus. Kota ini adalah “kampung halaman” kedua baginya dan merupakan basis Muawiyah dalam memperoleh dukungan rakyat. Selain jauh dari pusat oposisi di Kufah, Damaskus terletak diantara daerah-daerah kekuasaan Bani Umayyah.[8]
            Perubahan lain yang dilakukan Muawiyah adalah menggantikan sistem pemerintahan yang bercorak syura menjadi sistem kerajaan atau monarki.[9] Berbeda dengan empat khalifah sebelumnya, Muawiyah tidak menyerahkan masalah ini kepada umat Islam, tetapi menunjuk puteranya sendiri, yakni Yazid sebagai penggantinya. Kemudian Muawiyah agaknya meniru corak kerajaan yang berkembang di Persia dan Romawi.
            Dalam perluasan wilayah, Muawiyah dan dinasti Bani Umayyah umumnya, melakukan berbagai penaklukan. Setidaknya, ekspansi ini meliputi tiga front, yaitu front pertempuran menghadapi bangsa Romawi di Asia kecil, Konstantinopel dan pulau-pulau di Laut Tengah ; front Afrika Utara dari Selat Gibraltar hingga Spanyol; dan front timur hingga Sindus, India. Hingga akhir Bani Umayyah pada 750 M, kekuasaan Islam sudah mencapai Lautan Atlantik di barat dan Lembah Indus di timur.
            Untuk pertama kalinya, Muawiyah memperkenalkan lembaga pengawal pribadi (hajib) dalam sistem pemerintahan. Para pengawal inilah yang menjalankan tugas protokoler khalifah dalam menentukan dan menerima siapa yang berhak untuk bertemu khalifah. Selain karena tragedi Ali yang tewas terbunuh, Muawiyah juga mendapat inspirasi pelembagaan hajib ini dari pengaruh Syam dan Persia. Muawiyah tidak ingin tragedi yang menimpa Ali terjadi pada dirinya. Ia sadar bahwa orang-orang yang tidak senang padanya, terutama kelompok Syi’ah, selalu berusaha mencelakakan dirinya. Dalam perkembangannya para hajib ini memiliki kekuasaan yang luas, karena merekalah yang mengatur pertemuan pejabat-pejabat negara lainnya, delegasi negara sahabat maupun anggota masyarakat dengan khalifah.
            Struktur pemerintahan pusat terdiri dari lima departemen :[10]

1.      Diwan al-Jund (militer)
2.      Diwan al-Kharaj (perpajakan dan keuangan)
3.      Diwan al-Rasa’il (surat menyurat)
4.      Diwan al-Khatam (arsip dan dokumentasi negara)
5.      Diwan al-Barid (layanan pos dan registrasi penduduk)
            Masing-masing dari dewan dipimpin oleh seorang sekretaris. Dalam pemerintahan daerah, wilayah kekuasaan Bani Umayyah dibagi menjadi lima provinsi besar, yaitu : 1)Hijaz, Yaman, dan Arabia, 2)Mesir bagian utara dan selatan, 3)Irak dan Persia, 4)Mesopatamia, Armenia, dan Azarbaijan 5)Afrika utara, Spanyol, Prancis bagian selatan, Sisilia, dan Sardinia. Tiap-tiap provinsi dipimpin oleh seorang gubernur yang bertugas menjalankan administrasi politik dan militer untuk wilayah masing-masing.
            Bani umayyah juga mencatat dalam sejarah perkembangan yang pesat dalam perokonomian dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan, alat tukar mata uang Bizantium dan Persia yang berlaku sebelumnya diganti dengan mata uang dicetak sendiri dan memakai bahasa arab. Kemudian pada masa pemerintahan al-Walid bin Abdul Malik Daulah Umayyah mengalami puncak kemakmuran. Ia memberi jaminan hidup untuk anak yatim dan orang yang cacat serta menyediakan pendidikan untuk mereka.
            Pada masa Bani Umayyah yang menjadi hal penting yang menunjang pendapatan negara adalah zakat dari umat Islam, rampasan perang (ghanimah), pajak atas tanah dari warga non-muslim (kharaj), pajak perdagangan (usyr), dan pajak kepala warga non-muslim (jizyah). Sumber keuangan ini dimanfaatkan untuk menjalankan pemerintahan dan kesejahteraan masyarakat.[11]
C.     Kelemahan dan Kehancuran Bani Umayyah
Kekuasaan wilayah Bani Umayyah yang sangat luas dalam waktu yang singkat tidak berbanding lurus dengan komunikasi yang baik, menyebabkan kadang-kadang suatu wilayah situasi keamanan dan kejadian-kejadian tidak segera diketahui oleh pusat. Di samping itu kemunduran Bani Umayyah tidak terlepas dari pengaruh sikap dan kebijakan khalifah ataupun gubernur Bani Umayyah itu sendiri.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran dan kehancuran Bani Umayyah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :

1.      Faktor Internal, yaitu faktor yang berasal dari dalam istana, antara lain:
a)      Perselisihan antar keluarga khalifah.
Perselisiha antar keluarga khalifah, yaitu para putra mahkota yang menjadikan rapuhnya kekuatan kekhalifahan. Apabila yang pertama memegang kekuasaan, maka ia berusaha untuk mengasingkan yang lain dan menggantikannya dengan anaknya sendiri.    Hal ini menimbulkan permusuhan dalam keluarga dan tidak hanya terbatas pada tingkat khalifah dan gubernur saja.[12]
b)      Moralitas Khalifah atau gebernur yang jauh dari konsep Islam
Kekayaan Bani Umayyah disalah gunakan oleh khalifah ataupun gubernur untuk hidup berfoya-foya, bersuka ria dalam kemewahan, terutama pada masa Khalifah Yazid II naik tahta. Ia terpikat pada dua biduanitanya, Sallamah dan Hababah serta suka minum-minuman keras yang berlebihan. Namun gelar peminum terhebat dipegang anaknya, al-Walid II yang terkenal keras kepala dan suka berfoya-foya. Ia diriwayatkan terbiasa berendam di kolam anggur, yang biasa ia minum airnya hingga kedalamannya berkurang.  Kemudian para wazir dan panglima Bani Umayyah sudah mulai korupsi dan mengendaliakan negara karena para khalifah pada saat itu sangat lemah.

2.      Faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar istana,antara lain:
a)      Perlawanan dari Kaum Khawarij
Semenjak berdirinya Dinasti Umayyah, para khalifahnya sering menghadapi tantangan dari golongan Khawarij. Golongan ini memandang bahwa Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah telah melakukan dosan besar. Perbedaan pandangan politik antara Khawarij, Syi’ah dan Muawiyah menjadikan Khawarij mengangkat pemimpin dikalangannya sendiri. Hal ini tentu mempengaruhi stabilitas politik  pada masa itu.
b)      Perlawanan dari Kaum Syi’ah.
Kaum Syi’ah yang tidak pernah menyetujui pemerintahan Dinasti Umayyah dan tidak pernah memaafkan kesalahan mereka terhadap Ali dan Hasan semakin aktif  dan mendapat dukungan publik. Di sisi mereka berkumpul orang-orang yang merasa tidak puas, baik dari sisi politik, ekonomi maupun sosial terhadap pemerintahan Bani Umayyah.[13]
c)      Perlawanan Golongan Mawali
Asal mula Mawali yaitu budak-budak tawanan perang yang telah dimerdekakan kemudian istilah ini berkembang pada orang Islam bukan Arab. Secara teoritis, orang Mawali memiliki derajat yang sama dengan orang Arab. Namun itu tidak sepenuhnya tampak pada dinasti Umayyah bahkan mereka memandang kelompok Mawali sebagai masyarakat bawahan sehingga terbukalah jurang sosial yang memisahkan. Padahal orang Mawali ini turut serta berjuang membela Islam dan Bani Umayyah, mereka adalah basis infantry yang bertempur dengan kaki telanjangdi atas panasnya pasir, tidak di atas unta maupun kuda. Basis militer ini kemudian bergabung dengan gerakan anti pemerintah, yakni pihak Abbasiyah dan Syiah.[14]
d)     Pertentangan etnis Arab Utara dengan Arab Selatan.
Pada masa kekuaasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qaisy) dan Arabia Selatan (Bani Qalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam makin meruncing.n Apabila khalifah tersebut berasal atau lebih dekat dengan Arab Selatan, Arab Utara akan iri demikian pula sebaliknya. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan.
e)      Perlawanan dari Golongan Abbasiyah
Keluarga Abbas, para keturunan paman Rasulullah mulai bergerak aktif dan menegaskan tuntutan mereka untuk menduduki pemerintahan. Dengan cerdik, mereka bergabung dengan pendukung Ali dan menekankan hak keluarga Hasyim. Dengan memanfaatkan kekecewaan publik dan menampilkan diri sebagai pembela sejati agama Islam, para keturunan Abbas segera menjadi pemimpin gerakan anti Umayyah.[15]
            Inilah faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran yang membawa kehancuran bagi Bani Umayyah. Apalagi ketika tiga gerakan terbesar yakni Abasiyah, Syi’ah dan Mawali bergabung dalam gerakan koalisi untuk menumbangkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah dan bertujuan mendirikan kerajaan baru yang ideal.
            Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan Bani Umayyah di Damaskus yang telah dirintis oleh Muawiyah bin Abi Sufyan dan ditandai dengan terbunuhnya Marwan bin Muhammad sebagai khalifah dari Bani Umayyah.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Keberhasilan Muawiyah mendirikan Dinasti Bani Umayyah bukan hanya akibat dari kemenangan diplomasi di Siffin dan terbunuhnya khalifah Ali saja, dari sejak semula gubernur suriah itu memiliki basis rasional yang solid bagi landasan pembangunan politikya dimasa depan. Pertama, dukungan yang kuat dari rakyat Suriah dan dari keluarga Bani Umayyah sendiri. Kedua, sebagai seorang administrator, Muawiyah sangat bijaksana dalam menempatan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting. Ketiga, Muawiyah memiliki kemampuan menonjol sebagai negarawan.
            Corak sistem pemerintahan Bani Umayyah adalah Muawiyah telah merubah gaya kepemerintahan menjadi sistem kerajaan atau monarki. Langkah ini ia lakukan karena ambisinya untuk menguasai dunia Islam yang harus dipimpin oleh golongannya sendiri.
            Kemunduran dan kehancuran Bani Umayyah dibagi menjadi dua faktor, yaitu faktor internal disebabkan karena perselisihan antar keluarga khalifah serta moralitas khalifah yang jauh dari konsep agama Islam. Sedangkan faktor eksternal adalah perlawanan dari Kaum Khawarij, Kaum Syiah, golongan Mawali, adanya pertentangan antara Arab Utara dengan Arab Selatan serta puncaknya ketika adanya perlawanan dari Golongan Abbasiyah .


END NOTES



[1]  Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Cet. 16 ; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 35
[2] Abdul Hakim al-Afifi, 1000 Peristiwa dalam Islam, hal. 101
[3]  Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah : “Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam”, (Jakarta : Kencana, 2014) hal. 89
[4] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta : Rajawali Pers, 2004), hal. 33
[5]  Jasa-jasa Muawiyah yaitu membawa kepemerintahannya menjadi pemerintahan yang paling cemerlang diantara masa-masa khalifah secara keseluruhan, keamanan dalam negeri begitu baik begitu pula tentang hubungan luar negeri, kaum muslimin mencapai kemenangan yang gemilang. Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, (Jakarta : PT. Al Husna Zikra, 1995), hal. 48
[6]  Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, hal. 73
[7]  Ahmad Syalabi, Op.Cit., hal. 25
[8]  Muhammad Iqbal, Op. Cit., hal. 90
[9]  Monarki adalah sistem pemerintahan yang dikepalai oleh seorang raja. Pada masa Muawiyah bin Abi Sufyan, suksesi kekuasaan yang bersifat monarchiheridetis (kepemimpinan secara turun-temurun) mulai diperkenalkan.
[10]  Ibid., hal. 92
[11]  Ibid,. hal. 95
[12] Badri Yatim, Op. Cit., hal. 48
[13]  K. Ali , Sejarah Islam (Tarikh Pramodern), (Cet. 3 ; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 228
[14] Muhammad Mansyur Amin, Sejarah Peradaban Islam, ( Bandung: Indonesian Spirit Foundation, 2004), hal. 101
[15] Badri Yatim, Loc. Cit.





DAFTAR PUSTAKA

Ali, K. Sejarah Islam (Tarikh Pramodern), Cet. 3 ; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Amin, Muhammad Mansyur. Sejarah Peradaban Islam,  Bandung: Indonesian Spirit Foundation, 2004.
Iqbal, Muhammad.  Fiqh Siyasah : “Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam”, Jakarta : Kencana, 2014.
Hakim al-Afifi, Abdul. 1000 Peristiwa dalam Islam.
Mufrodi,  Islam di Kawasan Kebudayaan Arab.
Syalabi, Ahmad.  Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, Jakarta : PT. Al Husna Zikra, 1995.
Thohir, Ajid.  Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 2004.
Yatim, Badri.  Sejarah Peradaban Islam, Cet. 16 ; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.



0 komentar:

Posting Komentar