Kamis, 06 Juli 2017

KONSEP KEWARGANEGARAAN


KONSEP KEWARGANEGARAAN

Dosen Pembimbing : Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag

Oleh
Kelompok VIII:
Nia Riswana                                        Nim : 23151006
Quwwatul Kamilah Abkho Lbs          Nim : 23151007
 
PROGRAM STUDI SIYASAH IV-A
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA


BAB I
PENDAHULUAN
Negara islam merupakan negara ideologis membatasi kewarganegaraannya hanya kepada orang-orang yang tinggal diwilayah itu atau bermigrasi kedalam wilayah itu. Untuk itu ia membagi warga negaranya menjadi dua golongan, yakni muslim dan dzimmi (non muslim yang bertempat tinggal dinegara tersebut).[1] Menurut khazanah islam, baik dalam ilmu fiqh maupun politik islam pada umumnya hingga kini dzimmi dipahami sebagai warga negara non muslim dalam suatu negara islam yang memperoleh perlindungan politik.
Sebagai warga negara (dzimmi) mendapat perlakuan yang berbeda dengan muslim baik dalam hak dan kewajiban yang diterimanya dalam kapasitasnya mereka tidak dapat menduduki posisi strategis dalam pemerintahan, diwajibkan membayar jizyah, dan sederet kewajiban yang merupakan kompensasi atas hak-hak yang dimilikinya sebagai warga negara.[2]
Tidak hanya sebatas itu, dalam kehidupan bermasyarakat mereka juga mendapatkan perlakuan yang berbeda. Rumah mereka tidak boleh lebih tinggi dari rumah rumah seorang muslim, begitu juga tempat ibadah mereka. Mereka tidak boleh mendirikan gereja baru, tidak boleh memperlihatkan salib dan tidak boleh berdoa sambil membunyikan lonceng dengan keras. Mereka juga tidak boleh menyerang agama islam dan memperlihatkan sikap kurang hormat terhadap kebiasaan umat islam, tidak boleh menghina Nabi atau memperlihatkan sikap kurang hormat terhadap Nabi dan Al-qur’an.[3]
Melihat perihal diatas, banyak yang beranggapan bahwa konsep dzimmi merupakan konsep yang menomorduakan non muslim yang hidup dalam masyarakat islam (warga negara kelas dua), baik dalam hal status, perlakuan terhadap mereka, juga kedudukan mereka didepan hukum. Sedangkan dalam konsep kewarganegaraan modern sikap orang yang secara sah diakui oleh negara sebagai warga negara mendapatkan hak dan kewajiban yang sama, tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, maupun agama.[4] Bahkan pada saat sekarang ini seseorang dengan mudah berpindah dari satu kewarganegaraan ke kewarganegaraan yang lain dengan cara naturalisasi.
Melihat paparan diatas yang menjadi permasalahan adalah mengapa terjadi perbedaan antara hak dan kewajiban yang diterima oleh warga negara antara negara islam klasik yang dicetuskan oleh ulama fiqh dengan konsep warga negara modern. Konsep dzimmi berbeda dengan konsep negara bangsa (national state) yang tidak membedakan warga negara berdasarkan agama, etnis, maupun gender. Namun lebih mengedepankan kesetaraan dan persamaan, tentu akan menimbulkan benturan-benturan dan gejolak dalam masyarakat.



BAB II
PEMBAHASAN

Konsep Kewarganegaraan
Warga negara dalam negara Islam klasik merupakan sekumpulan manusia yang dipersatukan oleh suatu rasa persamaan dan yang sama-sama mendiami suatu wilayah, yang dalam periode awal Islam dikenal dengan istilah ummah.[5] Pemahaman Fiqh sebelum masa modern melihat bahwa dunia ini terdiri dari dua wilayah hukum,yaitu dar al-islam dan dar al-harb.[6] Dar al-islam adalah wilayah yang berada dibawah kekuasaan islam, wilayah yang dimana masyarakat bertumpu atas akidah dan ideologi islam. Akidah dan ideologi tersebut merupakan sumber peraturan, hukum, etika dan akhlak. Sedangkan dar al-harb adalah wilayah yang dimana tidak ada kekuasaan islam.
Zaman islam klasik adalah masa peperangan, penaklukan dan ekspansi. Penaklukkan oleh sebuah negara, suku atau kelompok yang kuat terhadap negara, suku, atau kelompok yang lemah adalah hal yang biasa. Pada masa itu juga sebelum islam datang, perluasan kekuasaan didasarkan pada hukum rimba yang desertai dengan persaingan antar suku atau persaingan antar berbagai kekuatan dengan kekerasan. Bagi kelompok yang mempunyai kesulitan selalu berambisi untuk menaklukkan dan menguasai yang lemah.[7] Sehingga kekuatan militer menjadi penopang utama negara.
Dalam konteks negara islam, warga negara mengandung pengertian penduduk sebuah negara islam yang memeluk agama. Penduduk yang bertempat tinggal diwilayah negara islam, namun belum memeluk islam atau dengan kata lain bahwa masyarakat atau individu non muslim yang bertempat tinggal diwilayah negara islam, akan diberi status penduduk permanen, tetapi tidak dianggap sebagai warga negara dari negara islam kecuali jika mereka memeluk islam atas kemauan mereka sendiri. Meskipun demikian, ternyata kenyataan diatas bukanlah sebuah statemen yang bersifat final karena adanya pemikir islam yang memandang mereka sebagai warga negara islam.
Sebagai konsekuensi dari kondisi tersebut adalah bahwa setiap negara harus memiliki system pertahanan yang kuat sistem pertahanan yang kuat hanya dapat diraihkan persatuan antar anggota kelompok pada awalnya alat pemersatu komunitas adalah rasa kesukuan. Rasa kesukuan inilah yang menjadi alat pemersatu dan menjadikan suatu komunitas manjadi kuat.
Sebagai penutup agama samawi, sejak semua islam mendapat permusuhan dari kepala-kepala suku quraish yang musyrik ketika berpindah ke Madinah, pihak yang memusuhinyapun semakin bertambah, yakni orang-orang yang mempunyai kepentingan tertentu dari penganut agama yahudi dan nasrani ketika komunitas islam berupa system yang berbentuk negara dan menjadi kekuatan yang diperhitungkan oleh pihak luar, ia mendapat permusuhan dan perselisihan dari kekuatan tangguh saat itu, yakni Romawi dan Persia.[8] Sejak itu permusuhan yang asalnya antar suku menjadi konflik global antara muslim dengan non muslim. Bertolak dari permusuhan orang-orang non muslim tersebutlah yang menyebabkan ulama fiqh ketika berbicara tentang sebuah negara membaginya dengan sebutan Dar’al islam dan Dar’al harb lalu membedakan orang kafir yang berada dinegara islam dengan dzimmi dan orag kafir yang luar islam harus diperangi.
Warga negara dalam negara islam klasik merupakan sekumpulan manusia yang dipersatukan oleh suatu rasa persamaan dan yang bersama mendiami suatu wilayah yang dalam periode selanjutnya merupakan masyarakat Dar al-islam yang diikat oleh persamaan agama juga adanya perjanjian dengan negara islam.[9] Pada periode awal islam mereka dikenal dengan istilah ummah dan dalam periode selanjutnya merupakan masyarakat Dar al-islam dan saat ini dengan muwatanah masyarakat islam merupakan masyarakat yang bertumpu atas akidah dan ideologi yang khas yakni islam. Akidah dan ideologi tersebut merupakan sumber peraturan, hukum, etika, dan akhlak. Itulah makna menyebabkan sebagai masyarakat islam. Maka ia adalah masyarakat yang menjadikan islam sebagai konsep hidup. Konstitusi pemerintahan, sumber hukum, penentu arah hubungan individu dan komunal, materi dan spiritual serta nasional dan internasional.
Akan tetapi, tidak berarti negara islam meniadakan sama sekali masyarakat yang memeluk agama selain islam. Islam membolehkan orang yang tidak seakidah untuk tetap menjadi bagian dalam masyarakat islam tanpa harus meninggalkan agamanya. Hal itu boleh menjadi tradisi (urf) dalam islam dengan menamakan non-muslim dalam masyarakat sebagian Ahl-al-Dzimmi (orang-orang dzimmi). Dengan demikian, akad dzimmah ini memberikan kepada orang-orang non muslim suatu hak yang dimasa sekarang ini mirip dengan apa yang disebut dengan kewarganegaraan politis yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya. Berdasarkan itu pula mereka memperoleh dan terikat pada hak-hak dan kewajiban semua warga negara. Paparan tersebut menunjukkan bahwa negara islam merupakan negara nomokrasi yang berdasarkan syari’ah islam, menjadikan islam sebagai konsep hidup, konstitusi pemerintahan, sumber hukum, penentu arah dalam hubungan secara individual dan komunal. Ini pula yang menjadi dalam menentukan kewarganegaraan. Berdasarkan paparan di atas kewarganegaraan dalam negara islam klasik adalah kesamaan akidah. Semua orang yang beragama islam merupakan warga negara islam dengan tidak melihat perbedaan warna kulit, ras, bangsa, bahasa, maupun asal-usul orang tuanya menurut Maliki, Syafi’i, dan Ahmad. Orang islam yang berada di Dar-al-harb juga merupakan ahl Dar al-islam, namun menurut Hanafi bukan. Berdasarkan asas tersebut muncul dua asas yakni asas Taba’iyyah al-walidayn (kewarganegaraan dikarenakan adanya hubungan akidah antara anak dengan orang tuanya) selama kedua orang tuanya diketahui. Dan Taba’iyyah al-Dar (kewarganegaraan karena hubungan dengan tempat domisili) yakni terhadap anak di negeri islam yang tidak diketahui orang tuanya. Dan terhadap perempuan kafir yang masuk Dar al-islam dengan akad aman lalu menikah dengan orang islam atau dzimmi musta’min yang memberi tanah kharaj maka ia diwajibkan membayar kharaj dalam setiap tahunnya dan berkewajiban untuk menetap di Dar al-islam. Kedua adalah asas ketundukkan non muslim terhadap pemerintah islam.
Pada zaman modern, terutama setelah diumumkannya deklarasi hak asasi manusia, sistem kenegaraan di dunia burubah secara signifikan.Kewarganegaraan seseorang sudah tidak didasarkan kepada kesukuan, ras, dan bahkan agama. Seseorang akan menjadi warga negara jika ia dinyatakan sah secara hukum suatu negara sebagai warga negara. Kewarganegaraan juga dapat diperoleh dengan cara permohonan kepada negara yang  bersangkutan, tanpa memandang suku, ras, atau agama.
Adapun dasar dalam menetapkan kewarganegaraan negara modern bukanlah ideologi, namun paham sekuler tentang persamaan dan kebebasan semua manusia tanpa membedakan agamanya, yang mana paham tersebut dipelopori pandangan filsafat para filsuf abad ke-18.[10] Dan setiap negara mampunyai kebebasan dan kewenangan untuk menentukan asas kewarganegaraan dikenal dua pedoman, yaitu asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan asas kewarganegaraan berdasarkan perkawinan.Dari sisi kelahiran ada dua asas kewarganegaraan yang sering dijumpai, yaitu Ius Soli (tempat kelahiran) dan Ius Sanguinis (keturunan).Sedangkan dari sisi perkawinan dikenal pula asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat.[11]
Namun demikian, perubahan status kewarganegaraan masing-masing pihak, baik suami maupun istri dalam negara islam klasik sangat berbeda dengan perubahan status kewarganegaraan dalam negara modern. Kewarganegaraan dalam islam klasik dapat hilang karena murtad (keluar dari islam), juga dzimmi yang melanggar perjanjian atau menetap di Dar al-harb, sedang dalam negara modern kewarganegaraan dapat hilang karena pelepasan atau penolakan melalui pencabutan atau tingal lama di luar negeri.
Selanjutnya permasalahan ahl al-dzimmi dalam islam harus dipahami berdasarkan konteks dan latar belakang yang mengitarinya. Sikap ulama fiqh tentang posisi dzimmi dalam negara islam klasik termasuk beberapa perlakuan yang mereka terima baik mengenai hak dan kewajiban yang berbeda dengan kaum muslim, meskipun mereka sama-sama sebagai warga negara tidak lepas dari konteks diatas kondisi seperti ini juga mempengaruhi interpretasi mereka terhadap ayat yang berkaitan dengan non muslim seperti dalam QS. At-Taubah ayat 29 berikut:
(#qè=ÏG»s% šúïÏ%©!$# Ÿw šcqãZÏB÷sム«!$$Î/ Ÿwur ÏQöquø9$$Î/ ̍ÅzFy$# Ÿwur tbqãBÌhptä $tB tP§ym ª!$# ¼ã&è!qßuur Ÿwur šcqãYƒÏtƒ tûïÏŠ Èd,ysø9$# z`ÏB šúïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tFÅ6ø9$# 4Ó®Lym (#qäÜ÷èムsptƒ÷Éfø9$# `tã 7tƒ öNèdur šcrãÉó»|¹ ÇËÒÈ  
Kalimat crãÉó»|¹ Nèdur 7tƒ `tã inilah yang menjadi fokus pembahasan pada pakar tafsir. Menurut al-Jasses kata 7tƒ `tã bermakna dengan paksa, juga bisa bermakna dari tangan orang kafir. Menurut ibn al-arabi ada lima belas pendapat dalam mengartikan kata tersebut, diantaranya bahwa orang yang membayar jizyah dengan berdiri dan pemungut sambil duduk, dan bermakna bahwa orang yang membayar jizyah harus menyerahkan sendiri dengan tangannya sambil berjalan kaki, juga bermakna kerendahan dan ketidak terpujinya orang yang membayar.
Para Ulama Fiqh membagi kewarganegaraan menjadi dua, yakni muslim dan non-muslim. Orang non-muslim terdiri dari al-dzimmi, musta’min, dan harbiyyun. Penduduk dar al-islam terdiri dari muslim, alhl al-dzimmi, dan musa’min, sedangkan penduduk dar al-harb terdiri dari muslim dan harbiyyun.[12]
1.      Muslim
Istilah “muslim” merupakan nama yang diberikan bagi orang yang menganut agama Islam. Seorang muslim meyakini dengan sepenuh hati kebenaran agama Islam dalam akidah, syariah dan akhlak sebagai aturannya. Gelar muslim langsung diberikan Allah kepada manusia, sebagaimana dalam QS. Al-Hajj ayat 78 :
uqèd ãNä39£Jy tûüÏJÎ=ó¡ßJø9$# `ÏB ã@ö6s% Îûur #x»yd tbqä3uÏ9 ãAqß§9$# #´Îgx© ö/ä3øn=tæ (#qçRqä3s?ur uä!#ypkà­ n?tã Ĩ$¨Z9$# 4 ÇÐÑÈ  
“…Dia yang menamakan kamu “muslim” semenjak masa lalu. Hal ini dimaksudkan supaya Rasul menjadi saksi atas sekalian manusia…”
            Seseorang dapat disebut muslim tidak hanya menganut dan meyakini Islam sebagai agamanya. Lebih dari itu, keyakinan tersebut harus dibuktikan secara konkret. Minimal seorang yang mengaku muslim harus memenuhi unsur-unsur mengucap dua kalimat syahadat, melaksanakan shalat dan memakan sembelihan yang dilakukan secara Islam.[13]
            Berdasarkan tempat menetapnya, muslim dapat dibedakan antara satu dengan yang lain.[14]
Pertama : Mereka yang menetap di dar al-islam dan mempunyai komitmen yang kuat untuk mempertahankan dar al-islam. Termasuk kedalam kelompok ini adalah orang Islam yang menetap sementara waktu di dar al-islam sebagai musta’min dan tetap komitmen pada Islam dan mengakui pemerintahan Islam.
Kedua : Muslim yang menetap di dar al-harb dan tidak berkeinginan hijrah ke dar al-islam. Status mereka menurut Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad sama dengan muslim lainnya di dar al-islam, harta benda dan jiwa mereka terpelihara. Namun menurut Abu Hanifah adalah sebaliknya.
2.      Ahl al-Dzimmi
Kata ahl al-dzimmi atau ahl al-dzimmah merupakan bentuk dari takrib idhafi (kata majemuk) yang masing-masing katanya berdiri sendiri. Kata “ahl” secara bahasa berarti keluarga atau sahabat. Adapun kata “dzimmi/dzimmah” berarti janji, jaminan, atau keamanan.
Status dzimmi seseorang diperoleh melalui perjanjian dengan pemerintahan Islam.[15] Islam membolehkan orang yang tidak seakidah untuk tetap menjadi bagian dari masyarakat Islam tanpa harus meninggalkan agamanya, hal itu telah menjadi tradisi dalam Islam. Dengan demikian, akad dzimmah ini memberikan kepada mereka suatu hak yang dimasa sekarang mirip dengan apa yang disebut dengan kewarganegaraan politis yang diberikan negara kepada rakyatnya. Berdasarkan itu pula mereka memperoleh dan terikat kepada hak dan kewajiban-kewajiban semua warga negara.
Menurut kesepakatan ulama, ahl al-dzimmi adalah mereka yang termasuk kedalam kategori ahl al-kitab, yaitu Yahudi, Nasrani dan Majusi. Kewajiban jizyah yang dibebankan kepada mereka adalah berdasarkan praktik Nabi saw. mayoritas ulama juga sepakat mengenai ketidakbolehan orang-orang murtad melakukan akad dzimmah dengan pemerintahan Islam, berdasarkan kepada firman Allah QS. Al-Fath ayat 16. Ayat tersebut memerintahkan kepada umat Islam agar memerangi orang murtad dengan tetap memberikan kesempatan kepada mereka untuk bertobat kembali kepada islam. Terhadap mereka yang tidak menyadari kekeliruan, pemerintah Islam boleh memberikan sanksi keras dalam bentuk hukum bunuh. Sanksi seperti ini akan menutup kemungkinan akad dzimmah bagi orang murtad, karena kad dzimmah bertujuan memelihara jiwa orang yang melakukan perjanjian. Disamping itu, akad dzimmah yang menggambarkan toleransi Islam tidak akan berguna bagi orang murtad, karena sebelumnya mereka pernah muslim. Oleh sebab itu, orang murtad tidak boleh diterima sebagai ahl al-dzimmi.[16]
Ulama juga berbeda pendapat mengenai kebolehan menerima orang musyrik sebagai ahl al-dzimmi. Mazhab Syafi’i, Maliki, Hanbali, Zhahiri dan Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa pemerintah Islam tidak boleh menerima orang musyrik sebagai ahl al-dzimmi dan memungut jizyah mereka. mereka berlandaskan pada QS. At-Taubah ayat 5 :
(#qè=çGø%$$sù tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# ß]øym óOèdqßJ?y`ur   ÇÎÈ  
“… perangilah orang-orang musyrik dimanapun kamu bertemu dengan mereka…”
            Sementara Imam Malik, al-Auza’i dan Ibn Qayyim al-Jauziyah berpendapat bahwa jizyah boleh diambil dari non-muslim manapun, tanpa memandang mereka dari ahl al-kitab atau bukan. Mereka beralasan pada perbuatan Nabi saw. yang mengajak raja-raja sekitar Arab dan non-Arab. Ketidakbolehan menerima sebagai ahl al-dzimmi dengan membayar pajak dan menuntut mereka memeluk Islam bertentangan dengan prinsip ajaran Islam yang memberikan kebebasan kepada manusia mengamalkan agama mereka tanpa paksaan.
            Menurut Madudi, secara umum hak ahl al-dzimmah adalah :[17]
1)      Hak perlindungan terhadap jiwa
2)      Hak perlindungan dalam undang-undang pidana. Hukuman terhadap seorang muslim yang melakukan pelanggaran, sama dengan hukuman seorang dzimmi yang melakukan pelanggaran.
3)      Hak perlindungan dalam undang-undang perdata. Undang-undang perdata Islam berlaku pula bagi dzimmi.
4)      Hak perlindungan terhadap kehormatan seorang dzimmi; dilarang menyakiti seorang dzimmi, baik dengan lidah maupun dengan tangan.
5)      Masa berlaku suatu perjanjian. Suatu akad perjanjian berlaku selamanya bagi umat Islam, dan tidak berwenang untuk membatalkannya. Berbeda dengan non-muslim yang sewaktu-waktu boleh membatalkan perjanjian tersebut.
6)      Hak perlindungan terhadap masalah pribadi. Masalah-masalah yang berkaitan dengan masalah pribadi mereka di atur sesuai dengan undang-undang mereka yang berlaku.
7)      Hak perlindunan terhadap syiar-syiar agama. Masalah-masalah yang berkaitan dengan penyelenggaraan syiar-syiar agama dan tradisi pada mereka, maka undang-undang Islam memberikan kebebasan selama itu memang dilakukan ditempat-tempat yang non-muslim. Akan tetapi kalu hal itu dilakukan didaerah Islam, maka Islam mempunyai dua sikap. Pertama, membiarkan hal itu berlangsung; kedua, mengaturnya dengan beberapa ketentuan.
8)      Hak perlindungan terhadap tempat ibadah
9)      Toleransi dalam pajak dan hasil bumi. Islam melarang bertindak keras terhadap non-muslim dalam hal jizyah dan kharaj, bahkan sebaliknya Islam selalu mengajarkan umatnya berlaku lemah lembut dalam segala hal serta tidak bolh memberikan beban diluar kemampuan mereka.
3.      Musta’min
Menurut pengertian ahli fiqh, musta’min adalah orang yang memasuki wilayah lain dengan mendapat jaminan keamanan dari pemerintahan setempat, baik ia muslim maupun harbiyyun. Musta’min adalah orang yang memasuki wilayah dar al-islam sebagai utusan perdamaian, anggota korps diplomatik, pedagan/investor atau orang-orang yang berhijrah.[18]
Istilah musta’min juga dapat digunakan untuk orang-orang Islam dan ahl al-dzimmi yang memasuki wilayah dar al-harb dengan mendapat izin dan jaminan keamanan dari pemerintah setempat. Hal ini diakui selama mereka hanya menetap sementara ditempat tersebut dan kembali ke dar al-islam sebelum izinnya habis.
Ajaran Islam membolehkan dar al-islam menerima permohonan non-muslim untuk meminta jaminan keamanan berdasarkan surah at-Taubah ayat 6:
÷bÎ)ur Ótnr& z`ÏiB šúüÏ.ÎŽô³ßJø9$# x8u$yftFó$# çnöÅ_r'sù 4Ó®Lym yìyJó¡o zN»n=x. «!$# ¢OèO çmøóÎ=ö/r& ¼çmuZtBù'tB 4 y7Ï9ºsŒ öNåk¨Xr'Î/ ×Pöqs% žw šcqßJn=ôètƒ ÇÏÈ  
“… Jika seorang diantara kaum musyrik itu meminta suaka kepadamu, maka lindungilah dia supaya dia sempat mendengarkan firman Allah. Setelah itu antarkanlah ia ke tempat yang aman dimana ia bebas menganut kepercayaannya. Yang demikian itu adalah karena mereka kaum yang tidak mengetahui”.
            Berdasarkan ayat ini, permohonan harbiyyun untuk mendapatkan keamanan di dar al-islam harus dikabulkan. Keamanan ini meliputi keselamatan diri, harta, transaksi yang dilakukannya, bahkan keluarganya. Dengan jaminan ini, mereka tidak dibebankan membayar jizyah.[19]
            Jaminan keamanan mereka berlaku sesuai dengan masa yang ditetapkan dalam perjanjian dengan dar al-islam. Namun Mazhab Syafi’i membatasi masa aman tidak melebihi empat bulan, selama musta’min tersebut bukan musafir dan utusan politik. Menurut mazhab Maliki, keamanan yang tidak dibatasi oleh waktu dengan sendirinya berakhir setelah melewati masa empat bulan. Adapun keamanan yang dibatasi dengan waktu tertentu berakhir sesuai masanya selama perjanjian tersebut tidak dibatalkan. Mazhab Hanafi dan Syiah Zaidiyah membatasi masa aman maksimal selama setahun. Sementara mazhab Hanbali memberi batasan yang lebih lama, yaitu empat tahun.[20]
4.      Harbiyyun
Kata “harbiyyun” berasal dari harb, berarti “perang”. Menurut Syiah Imamiyah, istilah harbiyyun dipakai untuk non-muslim selain dari ahl al-kitab. Orang-orang harbiyyun tidak terjamin keamanannya bila memasuki dar al-islam, karena terwujudnya rasa aman bagi mereka adalah apabila mereka melakukan salah satu dari dua hal ini, yaitu beriman memeluk agama Islam atau melalui perjanjian damai.[21]
Asas Kewarganegaraan Dalam Islam
Berdasarkan penjelasan diatas, asas kewarganegaraan dalam negara islam klasik adalah kesamaan akidah. Semua orang yang beragama Islam adalah warga negara Islam dengan tidak melihat perbedaan warna kulit, ras, bangsa, bahasa, maupun asal usul orangtuanya. Pada zaman modern, terutama setelah adanya hak asasi manusia, sistem kenegaraan didunia berubah secara signifikan. Kebebasan individu dari jajahan dijunjung tinggi, sehingga berdampak besar pada pola kewarganegaraan seseorang. Di zaman modern, seseorang akan menjadi warga negara jika dinyatakan sah secara hukum suatu negara. Kewarganegaraan juga dapat diperoleh dengan cara permohonan kepada negara yang bersangkutan tanpa memandang suku, ras dan agama.
Kewarganegaraan dalam islam klasik dapat hilang karena murtad, juga ahl al-dzimmi yang melanggar perjanjian atau menetap di dar al-harb. Sedangkan dalam negara modern, kewarganegaraan dapat hilang karena pelepasan atau penolakan melalui pencabutan atau tinggal lama diluar negeri.
Dalam asas kewarganegaraan negara islam, terdapat perbedaan pandangan. Abdul rahman, Abdul kardi kurdi misalnya menyalakan bahwa asas kewarganegaraan dalam negara islam didasarkan atas olehnya seorang warga dalam menerangkan ajaran islam dalam kehidupan mereka. Dengan demikian umat manusia secara keseluruhan akan dipandang sebagai muslim atau non muslim dalam sisi kehidupan mereka dalam menjalankan islam.
Sedangkan pandangan lain menyatakan sebagai  negara ideologi, islam tetap membatasi kewarganegaraan bagi mereka yang menetap di wilayah saja baik itu muslim ataupun non muslim dan orang-orang yang telah bermigrasi ke dalamnya. Adapun dasar dari statemen ini adalah firman allah dalam surat Al-Anfal ayat 72, yang artinya:
¨bÎ) z`ƒÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#rãy_$ydur (#rßyg»y_ur óOÎgÏ9ºuqøBr'Î/ öNÍkŦàÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# tûïÏ%©!$#ur (#rur#uä (#ÿrçŽ|ÇtR¨r y7Í´¯»s9'ré& öNåkÝÕ÷èt/ âä!$uÏ9÷rr& <Ù÷èt/ 4 tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä öNs9ur (#rãÅ_$pkç $tB /ä3s9 `ÏiB NÍkÉJu»s9ur `ÏiB >äóÓx« 4Ó®Lym (#rãÅ_$pkç 4 ÇÐËÈ  
 “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itu sama satu sama lain saling melindungi dan terhadap orang-orang yang beriman tetapi mereka belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka sebelum mereka berhijrah (QS.Al-Anfal :72)
Hak Dan Kewajiban Warga Negara
Dalam konsep negara islam terdapat dua macam kewarganegaraan yakni wakga negara muslim dan warga negara non muslim (dzimmi). Pengklasifikasian dalam konsep negara islam menjadi dua macam ini dimaksudkan sebagai perbedaan orang-orang muslim berkaitan dengan tanggung jawab dan persyaratan mereka dalam system islam tanpa bermaksud membeda-bedakan antara warga muslim dan non muslim dari sudut lainnya, seperti kemanusiaan, ras, ataupun warna kulit. Sebagamana firman Allah dalam Al-qur’an :
uqèd Ï%©!$# ö/ä3s)n=s{ ö/ä3ZÏJsù ֍Ïù%Ÿ2 /ä3ZÏBur Ö`ÏB÷sB 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÅÁt/ ÇËÈ  
“ Dialah yang menciptakan kamu, maka diantara kamu ada yang kafir da nada yang beriman. Allah maha melihat atas apa yang kamu kerjakan (Q.S At-Taghabun: 2)
Sebagaiman tafsiran dalam makna ayat di atas, jelas sekali bahwa ayat ini mengelompokkan manusia sebagai golongan dari orang-orang yang beriman dan orang-orang yang tidak beriman sebagai konsekuensi dari penerimaan dan penerapan sistem islam.
Warga negara secara umum merupakan anggota dari negara yang mempunyai kedudukan khusus terhadap negaranya.Ia mempunyai hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap negaranya. Sehingga sebagai warga negara yang baik seseorang akan terlebih dahulu mendahulukan kewajibannya sebagai warga negara dan pada meminta haknya terlebih dahulu.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Warga negara dalam negara Islam klasik merupakan sekumpulan manusia yang dipersatukan oleh suatu rasa persamaan dan yang sama-sama mendiami suatu wilayah, yang dalam periode awal Islam dikenal dengan istilah ummah. Para Ulama Fiqh membagi kewarganegaraan menjadi dua, yakni muslim dan non-muslim. Orang non-muslim terdiri dari al-dzimmi, musta’min, dan harbiyyun. Penduduk dar al-islam terdiri dari muslim, alhl al-dzimmi, dan musa’min, sedangkan penduduk dar al-harb terdiri dari muslim dan harbiyyun. Asas kewarganegaraan dalam negara islam klasik adalah kesamaan akidah. Semua orang yang beragama Islam adalah warga negara Islam dengan tidak melihat perbedaan warna kulit, ras, bangsa, bahasa, maupun asal usul orangtuanya
Pada zaman modern, terutama setelah diumumkannya deklarasi hak asasi manusia, sistem kenegaraan di dunia burubah secara signifikan.Kewarganegaraan seseorang sudah tidak didasarkan kepada kesukuan, ras, dan bahkan agama. Seseorang akan menjadi warga negara jika ia dinyatakan sah secara hukum suatu negara sebagai warga negara. Kewarganegaraan juga dapat diperoleh dengan cara permohonan kepada negara yang  bersangkutan, tanpa memandang suku, ras, atau agama.
Kewarganegaraan dalam islam klasik dapat hilang karena murtad, juga ahl al-dzimmi yang melanggar perjanjian atau menetap di dar al-harb. Sedangkan dalam negara modern, kewarganegaraan dapat hilang karena pelepasan atau penolakan melalui pencabutan atau tinggal lama diluar negeri.



END NOTES


[1]  Abu A’la al-Maududi, Hukum dan Konstitusi : Sistem Politik Islam, Penerj. Asep Hikmah, (Bandung : Mirzan, 1995),  h. 270.
[2]  Abdullah Ahmad al-Naim, Demokrasi Syari’ah : Wacana kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, Penerj.  Ahmad Suaedy dan Amiruddin al-Rany (Yogyakarta : LKIS, 2001),  h. 336-337.
[3]  Majjid Kadduri, Perang dan Damai dalam Islam, Penerj.  Sjaukat Djajadiningrat (Jakarta : Usaha Penerbit Djaja Sakti, 1961), h. 161-162.
[4]  Muhammad Yamin,  Proklamasi  dan Konstitusi Republik Indonesia,  (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), h. 115.
[5]  Abdul Aziz, Jurnal Studi Islam mengutip dari Abu Bakr Ibn Mas’ud al-Kasani, Bada’i al-Sana’i  j.3, (Beirut : al-Maktabah al-Shamilah, tt.), h. 302
[6]  Sebenarnya istilah Dar al-Islam dan Dar al-Harb tidak digunakan dalam Al-Quran dan Hadis. Istilah dar al-harb digunakan dalam kitab Shahih Bukhari, tetapi itu digunakan hanya sebagai judul dalam pasalnya, yaitu “Ketika Seseorang Memeluk Islam di dar al-Harb”, dan sama sekali tidak terdapat dalam Hadis yang ada dipasal tersebut. Lihat Akh. Minhaji, “Hak-Hak Asasi Manusia dalam Hukum Islam : Ijtihad Baru tentang Posisi Minorita Non-Muslim” dalam Antologi Studi Islam : Teori dan Metodologi, (Yogyakarta : Sunan Kalijaga Press, 2000), h. 354
[7]  Abdul Aziz, Jurnal Studi Islam, mengutip dari Akhmad Minhaji, Hak-hak Asasi Manusia dalam Hukum Islam, Penafsiran Baru tentang Posisi Minoritas non-Muslim, ( Ulumul Qur’an 2, 1993),  h,  22.
[8]  Abdul Aziz, Jurnal Studi Islam, mengutip dari Fahmi Huwaydi, Demokrasi, Oposisi dan Masyarakat Madani, Penerj. Muhammad Abdul Shaffar (Bandung : Mizan, 1996),  h. 21.
[9]  Ibid., h. 23
[10]  Abdul Aziz, Jurnal studi Islam mengutip Abd al-Qadir Audah, al-Tashri al-Jana’i fi al-Islam jus-1,  (Beirut : Mu’assasah al- Risalah, 1994), h. 307.
[11]  Harun Nasution dan Bachtiar Effendi, Hak Asasi Manusia dalam Islam, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1987), h. 53-54.
[12]  Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah “Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam”, (Jakarta : Prenadamedia Group, 2014), h. 269.
[13]  Ibid., h. 270.
[14]  Ibid., h. 271.
[15]  Said Agil Husin Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, (Jakarta : Penamadani, 2004), h. 187
[16]  Muhammad Iqbal, Op. Cit., h. 273.
[17]  Nurcholis Majid dkk, Fiqh Lintas Agama : Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta : Paramadina, 2004), h. 149.
[18]  Muhammad Iqbal, Op. Cit., h. 276.
[19]  Ibid., h. 277.
[20]  Ibid.,
[21]  Ibid., h. 278.










DAFTAR PUSTAKA

al-Maududi,  Abu A’la. Hukum dan Konstitusi : Sistem Politik Islam, Penerj. Asep Hikmah. Bandung : Mirzan, 1995.
al-Naim, Abdullah Ahmad.  Demokrasi Syari’ah : Wacana kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, Penerj.  Ahmad Suaedy dan Amiruddin al-Rany. Yogyakarta : LKIS, 2001.
Aziz, Abdul. Jurnal Studi Islam.
Husin Munawar, Said Agil. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta : Penamadani, 2004.
Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah “Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam”, Jakarta : Prenadamedia Group, 2014.
 Kadduri,  Majjid . Perang dan Damai dalam Islam, Penerj.  Sjaukat Djajadiningrat.  Jakarta : Usaha Penerbit Djaja Sakti, 1961.
Majid, Nurcholis dkk. Fiqh Lintas Agama : Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Jakarta : Paramadina, 2004.
Nasution, Harun dan Bachtiar Effendi. Hak Asasi Manusia dalam Islam, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1987.
Yamin,  Muhammad. Proklamasi  dan Konstitusi Republik Indonesia,  Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982.

 

0 komentar:

Posting Komentar