KONSEP KEWARGANEGARAAN
Dosen Pembimbing : Dr. Muhammad Iqbal,
M.Ag
Oleh
Kelompok VIII:
Nia Riswana Nim : 23151006
Quwwatul Kamilah Abkho Lbs Nim : 23151007
PROGRAM STUDI SIYASAH IV-A
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
BAB I
PENDAHULUAN
Negara islam merupakan negara ideologis membatasi
kewarganegaraannya hanya kepada orang-orang yang tinggal diwilayah itu atau
bermigrasi kedalam wilayah itu. Untuk itu ia membagi warga negaranya menjadi
dua golongan, yakni muslim dan dzimmi (non muslim yang bertempat tinggal
dinegara tersebut).[1]
Menurut khazanah islam, baik dalam ilmu fiqh maupun politik islam pada umumnya
hingga kini dzimmi dipahami sebagai warga negara non muslim dalam suatu negara
islam yang memperoleh perlindungan politik.
Sebagai warga negara (dzimmi) mendapat perlakuan yang berbeda
dengan muslim baik dalam hak dan kewajiban yang diterimanya dalam kapasitasnya
mereka tidak dapat menduduki posisi strategis dalam pemerintahan, diwajibkan
membayar jizyah, dan sederet kewajiban yang merupakan kompensasi atas hak-hak
yang dimilikinya sebagai warga negara.[2]
Tidak hanya sebatas itu, dalam kehidupan bermasyarakat mereka juga
mendapatkan perlakuan yang berbeda. Rumah mereka tidak boleh lebih tinggi dari
rumah rumah seorang muslim, begitu juga tempat ibadah mereka. Mereka tidak
boleh mendirikan gereja baru, tidak boleh memperlihatkan salib dan tidak boleh
berdoa sambil membunyikan lonceng dengan keras. Mereka juga tidak boleh
menyerang agama islam dan memperlihatkan sikap kurang hormat terhadap kebiasaan
umat islam, tidak boleh menghina Nabi atau memperlihatkan sikap kurang hormat
terhadap Nabi dan Al-qur’an.[3]
Melihat perihal diatas, banyak yang beranggapan bahwa konsep dzimmi
merupakan konsep yang menomorduakan non muslim yang hidup dalam masyarakat
islam (warga negara kelas dua), baik dalam hal status, perlakuan terhadap
mereka, juga kedudukan mereka didepan hukum. Sedangkan dalam konsep
kewarganegaraan modern sikap orang yang secara sah diakui oleh negara sebagai
warga negara mendapatkan hak dan kewajiban yang sama, tanpa membedakan ras,
warna kulit, jenis kelamin, maupun agama.[4]
Bahkan pada saat sekarang ini seseorang dengan mudah berpindah dari satu
kewarganegaraan ke kewarganegaraan yang lain dengan cara naturalisasi.
Melihat paparan diatas yang menjadi permasalahan adalah mengapa
terjadi perbedaan antara hak dan kewajiban yang diterima oleh warga negara
antara negara islam klasik yang dicetuskan oleh ulama fiqh dengan konsep warga
negara modern. Konsep dzimmi berbeda dengan konsep negara bangsa (national
state) yang tidak membedakan warga negara berdasarkan agama, etnis, maupun
gender. Namun lebih mengedepankan kesetaraan dan persamaan, tentu akan
menimbulkan benturan-benturan dan gejolak dalam masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
Konsep Kewarganegaraan
Warga negara dalam negara Islam klasik merupakan sekumpulan manusia
yang dipersatukan oleh suatu rasa persamaan dan yang sama-sama mendiami suatu
wilayah, yang dalam periode awal Islam dikenal dengan istilah ummah.[5]
Pemahaman Fiqh sebelum masa modern melihat bahwa dunia ini terdiri dari dua
wilayah hukum,yaitu dar al-islam dan dar al-harb.[6]
Dar al-islam adalah wilayah yang berada dibawah kekuasaan islam, wilayah yang
dimana masyarakat bertumpu atas akidah dan ideologi islam. Akidah dan ideologi
tersebut merupakan sumber peraturan, hukum, etika dan akhlak. Sedangkan dar
al-harb adalah wilayah yang dimana tidak ada kekuasaan islam.
Zaman islam klasik adalah masa peperangan, penaklukan dan ekspansi.
Penaklukkan oleh sebuah negara, suku atau kelompok yang kuat terhadap negara,
suku, atau kelompok yang lemah adalah hal yang biasa. Pada masa itu juga
sebelum islam datang, perluasan kekuasaan didasarkan pada hukum rimba yang
desertai dengan persaingan antar suku atau persaingan antar berbagai kekuatan
dengan kekerasan. Bagi kelompok yang mempunyai kesulitan selalu berambisi untuk
menaklukkan dan menguasai yang lemah.[7] Sehingga
kekuatan militer menjadi penopang utama negara.
Dalam konteks negara islam, warga negara mengandung pengertian
penduduk sebuah negara islam yang memeluk agama. Penduduk yang bertempat
tinggal diwilayah negara islam, namun belum memeluk islam atau dengan kata lain
bahwa masyarakat atau individu non muslim yang bertempat tinggal diwilayah
negara islam, akan diberi status penduduk permanen, tetapi tidak dianggap
sebagai warga negara dari negara islam kecuali jika mereka memeluk islam atas
kemauan mereka sendiri. Meskipun demikian, ternyata kenyataan diatas bukanlah
sebuah statemen yang bersifat final karena adanya pemikir islam yang memandang
mereka sebagai warga negara islam.
Sebagai konsekuensi dari kondisi tersebut adalah bahwa setiap
negara harus memiliki system pertahanan yang kuat sistem pertahanan yang kuat
hanya dapat diraihkan persatuan antar anggota kelompok pada awalnya alat
pemersatu komunitas adalah rasa kesukuan. Rasa kesukuan inilah yang menjadi
alat pemersatu dan menjadikan suatu komunitas manjadi kuat.
Sebagai penutup agama samawi, sejak semua islam mendapat permusuhan
dari kepala-kepala suku quraish yang musyrik ketika berpindah ke Madinah, pihak
yang memusuhinyapun semakin bertambah, yakni orang-orang yang mempunyai
kepentingan tertentu dari penganut agama yahudi dan nasrani ketika komunitas
islam berupa system yang berbentuk negara dan menjadi kekuatan yang
diperhitungkan oleh pihak luar, ia mendapat permusuhan dan perselisihan dari
kekuatan tangguh saat itu, yakni Romawi dan Persia.[8]
Sejak itu permusuhan yang asalnya antar suku menjadi konflik global antara
muslim dengan non muslim. Bertolak dari permusuhan orang-orang non muslim
tersebutlah yang menyebabkan ulama fiqh ketika berbicara tentang sebuah negara
membaginya dengan sebutan Dar’al islam dan Dar’al harb lalu membedakan orang
kafir yang berada dinegara islam dengan dzimmi dan orag kafir yang luar islam
harus diperangi.
Warga negara dalam negara islam klasik merupakan sekumpulan manusia
yang dipersatukan oleh suatu rasa persamaan dan yang bersama mendiami suatu
wilayah yang dalam periode selanjutnya merupakan masyarakat Dar al-islam yang diikat
oleh persamaan agama juga adanya perjanjian dengan negara islam.[9]
Pada periode awal islam mereka dikenal dengan istilah ummah dan dalam periode
selanjutnya merupakan masyarakat Dar al-islam dan saat ini dengan muwatanah
masyarakat islam merupakan masyarakat yang bertumpu atas akidah dan ideologi
yang khas yakni islam. Akidah dan ideologi tersebut merupakan sumber peraturan,
hukum, etika, dan akhlak. Itulah makna menyebabkan sebagai masyarakat islam.
Maka ia adalah masyarakat yang menjadikan islam sebagai konsep hidup.
Konstitusi pemerintahan, sumber hukum, penentu arah hubungan individu dan
komunal, materi dan spiritual serta nasional dan internasional.
Akan tetapi, tidak berarti negara islam meniadakan sama sekali
masyarakat yang memeluk agama selain islam. Islam membolehkan orang yang tidak
seakidah untuk tetap menjadi bagian dalam masyarakat islam tanpa harus
meninggalkan agamanya. Hal itu boleh menjadi tradisi (urf) dalam islam
dengan menamakan non-muslim dalam masyarakat sebagian Ahl-al-Dzimmi (orang-orang
dzimmi). Dengan demikian, akad dzimmah ini memberikan kepada orang-orang non
muslim suatu hak yang dimasa sekarang ini mirip dengan apa yang disebut dengan
kewarganegaraan politis yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya.
Berdasarkan itu pula mereka memperoleh dan terikat pada hak-hak dan kewajiban
semua warga negara. Paparan tersebut menunjukkan bahwa negara islam merupakan
negara nomokrasi yang berdasarkan syari’ah islam, menjadikan islam sebagai
konsep hidup, konstitusi pemerintahan, sumber hukum, penentu arah dalam
hubungan secara individual dan komunal. Ini pula yang menjadi dalam menentukan
kewarganegaraan. Berdasarkan paparan di atas kewarganegaraan dalam negara islam
klasik adalah kesamaan akidah. Semua orang yang beragama islam merupakan warga
negara islam dengan tidak melihat perbedaan warna kulit, ras, bangsa, bahasa,
maupun asal-usul orang tuanya menurut Maliki, Syafi’i, dan Ahmad. Orang islam
yang berada di Dar-al-harb juga merupakan ahl Dar al-islam, namun menurut
Hanafi bukan. Berdasarkan asas tersebut muncul dua asas yakni asas Taba’iyyah
al-walidayn (kewarganegaraan dikarenakan adanya hubungan akidah antara anak
dengan orang tuanya) selama kedua orang tuanya diketahui. Dan Taba’iyyah al-Dar
(kewarganegaraan karena hubungan dengan tempat domisili) yakni terhadap anak di
negeri islam yang tidak diketahui orang tuanya. Dan terhadap perempuan kafir
yang masuk Dar al-islam dengan akad aman lalu menikah dengan orang islam atau
dzimmi musta’min yang memberi tanah kharaj maka ia diwajibkan membayar kharaj
dalam setiap tahunnya dan berkewajiban untuk menetap di Dar al-islam. Kedua
adalah asas ketundukkan non muslim terhadap pemerintah islam.
Pada zaman modern, terutama setelah diumumkannya deklarasi hak
asasi manusia, sistem kenegaraan di dunia burubah secara
signifikan.Kewarganegaraan seseorang sudah tidak didasarkan kepada kesukuan,
ras, dan bahkan agama. Seseorang akan menjadi warga negara jika ia dinyatakan
sah secara hukum suatu negara sebagai warga negara. Kewarganegaraan juga dapat
diperoleh dengan cara permohonan kepada negara yang bersangkutan, tanpa memandang suku, ras, atau
agama.
Adapun dasar dalam menetapkan kewarganegaraan negara modern
bukanlah ideologi, namun paham sekuler tentang persamaan dan kebebasan semua
manusia tanpa membedakan agamanya, yang mana paham tersebut dipelopori
pandangan filsafat para filsuf abad ke-18.[10] Dan
setiap negara mampunyai kebebasan dan kewenangan untuk menentukan asas
kewarganegaraan dikenal dua pedoman, yaitu asas kewarganegaraan berdasarkan
kelahiran dan asas kewarganegaraan berdasarkan perkawinan.Dari sisi kelahiran
ada dua asas kewarganegaraan yang sering dijumpai, yaitu Ius Soli (tempat
kelahiran) dan Ius Sanguinis (keturunan).Sedangkan dari sisi perkawinan dikenal
pula asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat.[11]
Namun demikian, perubahan status kewarganegaraan masing-masing
pihak, baik suami maupun istri dalam negara islam klasik sangat berbeda dengan
perubahan status kewarganegaraan dalam negara modern. Kewarganegaraan dalam
islam klasik dapat hilang karena murtad (keluar dari islam), juga dzimmi yang
melanggar perjanjian atau menetap di Dar al-harb, sedang dalam negara modern
kewarganegaraan dapat hilang karena pelepasan atau penolakan melalui pencabutan
atau tingal lama di luar negeri.
Selanjutnya permasalahan ahl al-dzimmi dalam islam harus dipahami
berdasarkan konteks dan latar belakang yang mengitarinya. Sikap ulama fiqh
tentang posisi dzimmi dalam negara islam klasik termasuk beberapa perlakuan
yang mereka terima baik mengenai hak dan kewajiban yang berbeda dengan kaum
muslim, meskipun mereka sama-sama sebagai warga negara tidak lepas dari konteks
diatas kondisi seperti ini juga mempengaruhi interpretasi mereka terhadap ayat
yang berkaitan dengan non muslim seperti dalam QS. At-Taubah ayat 29 berikut:
(#qè=ÏG»s% šúïÏ%©!$# Ÿw šcqãZÏB÷sム«!$$Î/ Ÿwur ÏQöqu‹ø9$$Î/ ÌÅzFy$# Ÿwur tbqãBÌhptä† $tB tP§ym ª!$# ¼ã&è!qß™u‘ur Ÿwur šcqãYƒÏ‰tƒ tûïÏŠ Èd,ysø9$# z`ÏB šúïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tFÅ6ø9$# 4Ó®Lym (#qäÜ÷èムsptƒ÷“Éfø9$# `tã 7‰tƒ öNèdur šcrãÉó»|¹ ÇËÒÈ
Kalimat crãÉó»|¹ Nèdur 7‰tƒ `tã inilah yang menjadi fokus pembahasan pada pakar tafsir. Menurut
al-Jasses kata 7‰tƒ `tã bermakna dengan
paksa, juga bisa bermakna dari tangan orang kafir. Menurut ibn al-arabi ada
lima belas pendapat dalam mengartikan kata tersebut, diantaranya bahwa orang
yang membayar jizyah dengan berdiri dan pemungut sambil duduk, dan bermakna
bahwa orang yang membayar jizyah harus menyerahkan sendiri dengan tangannya
sambil berjalan kaki, juga bermakna kerendahan dan ketidak terpujinya orang
yang membayar.
Para Ulama Fiqh membagi kewarganegaraan menjadi dua, yakni muslim
dan non-muslim. Orang non-muslim terdiri dari al-dzimmi, musta’min, dan
harbiyyun. Penduduk dar al-islam terdiri dari muslim, alhl al-dzimmi, dan
musa’min, sedangkan penduduk dar al-harb terdiri dari muslim dan harbiyyun.[12]
1.
Muslim
Istilah “muslim” merupakan nama yang diberikan bagi orang yang
menganut agama Islam. Seorang muslim meyakini dengan sepenuh hati kebenaran
agama Islam dalam akidah, syariah dan akhlak sebagai aturannya. Gelar muslim
langsung diberikan Allah kepada manusia, sebagaimana dalam QS. Al-Hajj ayat 78
:
uqèd … ãNä39£Jy™ tûüÏJÎ=ó¡ßJø9$# `ÏB ã@ö6s% ’Îûur #x‹»yd tbqä3u‹Ï9 ãAqß™§9$# #´‰‹Îgx© ö/ä3ø‹n=tæ (#qçRqä3s?ur uä!#y‰pkà ’n?tã Ĩ$¨Z9$# 4 ÇÐÑÈ …
“…Dia yang menamakan kamu “muslim” semenjak masa lalu. Hal ini
dimaksudkan supaya Rasul menjadi saksi atas sekalian manusia…”
Seseorang dapat
disebut muslim tidak hanya menganut dan meyakini Islam sebagai agamanya. Lebih
dari itu, keyakinan tersebut harus dibuktikan secara konkret. Minimal seorang
yang mengaku muslim harus memenuhi unsur-unsur mengucap dua kalimat syahadat,
melaksanakan shalat dan memakan sembelihan yang dilakukan secara Islam.[13]
Berdasarkan tempat
menetapnya, muslim dapat dibedakan antara satu dengan yang lain.[14]
Pertama : Mereka
yang menetap di dar al-islam dan mempunyai komitmen yang kuat untuk
mempertahankan dar al-islam. Termasuk kedalam kelompok ini adalah orang Islam
yang menetap sementara waktu di dar al-islam sebagai musta’min dan tetap
komitmen pada Islam dan mengakui pemerintahan Islam.
Kedua : Muslim
yang menetap di dar al-harb dan tidak berkeinginan hijrah ke dar al-islam.
Status mereka menurut Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad sama dengan muslim lainnya
di dar al-islam, harta benda dan jiwa mereka terpelihara. Namun menurut Abu
Hanifah adalah sebaliknya.
2.
Ahl
al-Dzimmi
Kata ahl al-dzimmi atau ahl al-dzimmah merupakan bentuk dari takrib
idhafi (kata majemuk) yang masing-masing katanya berdiri sendiri. Kata
“ahl” secara bahasa berarti keluarga atau sahabat. Adapun kata “dzimmi/dzimmah”
berarti janji, jaminan, atau keamanan.
Status dzimmi seseorang diperoleh melalui perjanjian dengan
pemerintahan Islam.[15]
Islam membolehkan orang yang tidak seakidah untuk tetap menjadi bagian dari
masyarakat Islam tanpa harus meninggalkan agamanya, hal itu telah menjadi
tradisi dalam Islam. Dengan demikian, akad dzimmah ini memberikan kepada mereka
suatu hak yang dimasa sekarang mirip dengan apa yang disebut dengan
kewarganegaraan politis yang diberikan negara kepada rakyatnya. Berdasarkan itu
pula mereka memperoleh dan terikat kepada hak dan kewajiban-kewajiban semua
warga negara.
Menurut kesepakatan ulama, ahl al-dzimmi adalah mereka yang
termasuk kedalam kategori ahl al-kitab, yaitu Yahudi, Nasrani dan Majusi.
Kewajiban jizyah yang dibebankan kepada mereka adalah berdasarkan praktik Nabi
saw. mayoritas ulama juga sepakat mengenai ketidakbolehan orang-orang murtad
melakukan akad dzimmah dengan pemerintahan Islam, berdasarkan kepada firman Allah
QS. Al-Fath ayat 16. Ayat tersebut memerintahkan kepada umat Islam agar
memerangi orang murtad dengan tetap memberikan kesempatan kepada mereka untuk
bertobat kembali kepada islam. Terhadap mereka yang tidak menyadari kekeliruan,
pemerintah Islam boleh memberikan sanksi keras dalam bentuk hukum bunuh. Sanksi
seperti ini akan menutup kemungkinan akad dzimmah bagi orang murtad, karena kad
dzimmah bertujuan memelihara jiwa orang yang melakukan perjanjian. Disamping
itu, akad dzimmah yang menggambarkan toleransi Islam tidak akan berguna bagi
orang murtad, karena sebelumnya mereka pernah muslim. Oleh sebab itu, orang
murtad tidak boleh diterima sebagai ahl al-dzimmi.[16]
Ulama juga berbeda pendapat mengenai kebolehan menerima orang
musyrik sebagai ahl al-dzimmi. Mazhab Syafi’i, Maliki, Hanbali, Zhahiri dan
Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa pemerintah Islam tidak boleh menerima orang
musyrik sebagai ahl al-dzimmi dan memungut jizyah mereka. mereka berlandaskan
pada QS. At-Taubah ayat 5 :
(#qè=çGø%$$sù … tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# ß]ø‹ym óOèdqßJ›?‰y`ur … ÇÎÈ
“… perangilah orang-orang musyrik dimanapun kamu bertemu dengan
mereka…”
Sementara Imam
Malik, al-Auza’i dan Ibn Qayyim al-Jauziyah berpendapat bahwa jizyah boleh
diambil dari non-muslim manapun, tanpa memandang mereka dari ahl al-kitab atau
bukan. Mereka beralasan pada perbuatan Nabi saw. yang mengajak raja-raja
sekitar Arab dan non-Arab. Ketidakbolehan menerima sebagai ahl al-dzimmi dengan
membayar pajak dan menuntut mereka memeluk Islam bertentangan dengan prinsip
ajaran Islam yang memberikan kebebasan kepada manusia mengamalkan agama mereka
tanpa paksaan.
Menurut Madudi,
secara umum hak ahl al-dzimmah adalah :[17]
1)
Hak
perlindungan terhadap jiwa
2)
Hak
perlindungan dalam undang-undang pidana. Hukuman terhadap seorang muslim yang
melakukan pelanggaran, sama dengan hukuman seorang dzimmi yang melakukan
pelanggaran.
3)
Hak
perlindungan dalam undang-undang perdata. Undang-undang perdata Islam berlaku
pula bagi dzimmi.
4)
Hak
perlindungan terhadap kehormatan seorang dzimmi; dilarang menyakiti seorang
dzimmi, baik dengan lidah maupun dengan tangan.
5)
Masa
berlaku suatu perjanjian. Suatu akad perjanjian berlaku selamanya bagi umat
Islam, dan tidak berwenang untuk membatalkannya. Berbeda dengan non-muslim yang
sewaktu-waktu boleh membatalkan perjanjian tersebut.
6)
Hak
perlindungan terhadap masalah pribadi. Masalah-masalah yang berkaitan dengan
masalah pribadi mereka di atur sesuai dengan undang-undang mereka yang berlaku.
7)
Hak
perlindunan terhadap syiar-syiar agama. Masalah-masalah yang berkaitan dengan
penyelenggaraan syiar-syiar agama dan tradisi pada mereka, maka undang-undang
Islam memberikan kebebasan selama itu memang dilakukan ditempat-tempat yang
non-muslim. Akan tetapi kalu hal itu dilakukan didaerah Islam, maka Islam
mempunyai dua sikap. Pertama, membiarkan hal itu berlangsung; kedua,
mengaturnya dengan beberapa ketentuan.
8)
Hak
perlindungan terhadap tempat ibadah
9)
Toleransi
dalam pajak dan hasil bumi. Islam melarang bertindak keras terhadap non-muslim
dalam hal jizyah dan kharaj, bahkan sebaliknya Islam selalu mengajarkan umatnya
berlaku lemah lembut dalam segala hal serta tidak bolh memberikan beban diluar
kemampuan mereka.
3.
Musta’min
Menurut pengertian ahli fiqh, musta’min adalah orang yang memasuki
wilayah lain dengan mendapat jaminan keamanan dari pemerintahan setempat, baik
ia muslim maupun harbiyyun. Musta’min adalah orang yang memasuki wilayah dar
al-islam sebagai utusan perdamaian, anggota korps diplomatik, pedagan/investor
atau orang-orang yang berhijrah.[18]
Istilah musta’min juga dapat digunakan untuk orang-orang Islam dan
ahl al-dzimmi yang memasuki wilayah dar al-harb dengan mendapat izin dan
jaminan keamanan dari pemerintah setempat. Hal ini diakui selama mereka hanya
menetap sementara ditempat tersebut dan kembali ke dar al-islam sebelum izinnya
habis.
Ajaran Islam membolehkan dar al-islam menerima permohonan
non-muslim untuk meminta jaminan keamanan berdasarkan surah at-Taubah ayat 6:
÷bÎ)ur Ó‰tnr& z`ÏiB šúüÏ.ÎŽô³ßJø9$# x8u‘$yftFó™$# çnöÅ_r'sù 4Ó®Lym yìyJó¡o„ zN»n=x. «!$# ¢OèO çmøóÎ=ö/r& ¼çmuZtBù'tB 4 y7Ï9ºsŒ öNåk¨Xr'Î/ ×Pöqs% žw šcqßJn=ôètƒ ÇÏÈ
“… Jika seorang diantara kaum musyrik itu meminta suaka kepadamu,
maka lindungilah dia supaya dia sempat mendengarkan firman Allah. Setelah itu
antarkanlah ia ke tempat yang aman dimana ia bebas menganut kepercayaannya.
Yang demikian itu adalah karena mereka kaum yang tidak mengetahui”.
Berdasarkan ayat
ini, permohonan harbiyyun untuk mendapatkan keamanan di dar al-islam harus
dikabulkan. Keamanan ini meliputi keselamatan diri, harta, transaksi yang
dilakukannya, bahkan keluarganya. Dengan jaminan ini, mereka tidak dibebankan
membayar jizyah.[19]
Jaminan keamanan
mereka berlaku sesuai dengan masa yang ditetapkan dalam perjanjian dengan dar
al-islam. Namun Mazhab Syafi’i membatasi masa aman tidak melebihi empat bulan,
selama musta’min tersebut bukan musafir dan utusan politik. Menurut mazhab
Maliki, keamanan yang tidak dibatasi oleh waktu dengan sendirinya berakhir
setelah melewati masa empat bulan. Adapun keamanan yang dibatasi dengan waktu
tertentu berakhir sesuai masanya selama perjanjian tersebut tidak dibatalkan.
Mazhab Hanafi dan Syiah Zaidiyah membatasi masa aman maksimal selama setahun.
Sementara mazhab Hanbali memberi batasan yang lebih lama, yaitu empat tahun.[20]
4.
Harbiyyun
Kata “harbiyyun” berasal dari harb, berarti “perang”. Menurut Syiah
Imamiyah, istilah harbiyyun dipakai untuk non-muslim selain dari ahl al-kitab.
Orang-orang harbiyyun tidak terjamin keamanannya bila memasuki dar al-islam,
karena terwujudnya rasa aman bagi mereka adalah apabila mereka melakukan salah
satu dari dua hal ini, yaitu beriman memeluk agama Islam atau melalui
perjanjian damai.[21]
Asas Kewarganegaraan Dalam Islam
Berdasarkan penjelasan diatas, asas kewarganegaraan dalam negara
islam klasik adalah kesamaan akidah. Semua orang yang beragama Islam adalah
warga negara Islam dengan tidak melihat perbedaan warna kulit, ras, bangsa,
bahasa, maupun asal usul orangtuanya. Pada zaman modern, terutama setelah
adanya hak asasi manusia, sistem kenegaraan didunia berubah secara signifikan.
Kebebasan individu dari jajahan dijunjung tinggi, sehingga berdampak besar pada
pola kewarganegaraan seseorang. Di zaman modern, seseorang akan menjadi warga
negara jika dinyatakan sah secara hukum suatu negara. Kewarganegaraan juga
dapat diperoleh dengan cara permohonan kepada negara yang bersangkutan tanpa
memandang suku, ras dan agama.
Kewarganegaraan dalam islam klasik dapat hilang karena murtad, juga
ahl al-dzimmi yang melanggar perjanjian atau menetap di dar al-harb. Sedangkan
dalam negara modern, kewarganegaraan dapat hilang karena pelepasan atau
penolakan melalui pencabutan atau tinggal lama diluar negeri.
Dalam asas kewarganegaraan negara islam, terdapat perbedaan
pandangan. Abdul rahman, Abdul kardi kurdi misalnya menyalakan bahwa asas
kewarganegaraan dalam negara islam didasarkan atas olehnya seorang warga dalam
menerangkan ajaran islam dalam kehidupan mereka. Dengan demikian umat manusia
secara keseluruhan akan dipandang sebagai muslim atau non muslim dalam sisi
kehidupan mereka dalam menjalankan islam.
Sedangkan pandangan lain menyatakan sebagai negara ideologi, islam tetap membatasi
kewarganegaraan bagi mereka yang menetap di wilayah saja baik itu muslim
ataupun non muslim dan orang-orang yang telah bermigrasi ke dalamnya. Adapun
dasar dari statemen ini adalah firman allah dalam surat Al-Anfal ayat 72, yang
artinya:
¨bÎ) z`ƒÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#rãy_$ydur (#r߉yg»y_ur óOÎgÏ9ºuqøBr'Î/ öNÍkŦàÿRr&ur ’Îû È@‹Î6y™ «!$# tûïÏ%©!$#ur (#rur#uä (#ÿrçŽ|ÇtR¨r y7Í´¯»s9'ré& öNåkÝÕ÷èt/ âä!$u‹Ï9÷rr& <Ù÷èt/ 4 tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä öNs9ur (#rãÅ_$pkç‰ $tB /ä3s9 `ÏiB NÍkÉJu‹»s9ur `ÏiB >äóÓx« 4Ó®Lym (#rãÅ_$pkç‰ 4 ÇÐËÈ
“Sesungguhnya orang-orang
yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan
Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada
orang-orang Muhajirin), mereka itu sama satu sama lain saling melindungi dan
terhadap orang-orang yang beriman tetapi mereka belum berhijrah, maka tidak ada
kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka sebelum mereka berhijrah (QS.Al-Anfal
:72)
Hak Dan Kewajiban Warga Negara
Dalam konsep negara islam terdapat dua macam kewarganegaraan yakni
wakga negara muslim dan warga negara non muslim (dzimmi). Pengklasifikasian
dalam konsep negara islam menjadi dua macam ini dimaksudkan sebagai perbedaan
orang-orang muslim berkaitan dengan tanggung jawab dan persyaratan mereka dalam
system islam tanpa bermaksud membeda-bedakan antara warga muslim dan non muslim
dari sudut lainnya, seperti kemanusiaan, ras, ataupun warna kulit. Sebagamana
firman Allah dalam Al-qur’an :
uqèd “Ï%©!$# ö/ä3s)n=s{ ö/ä3ZÏJsù ÖÏù%Ÿ2 /ä3ZÏBur Ö`ÏB÷s•B 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? îŽÅÁt/ ÇËÈ
“ Dialah yang menciptakan kamu, maka diantara kamu ada yang kafir
da nada yang beriman. Allah maha melihat atas apa yang kamu kerjakan (Q.S At-Taghabun: 2)
Sebagaiman tafsiran dalam makna ayat di atas, jelas sekali bahwa
ayat ini mengelompokkan manusia sebagai golongan dari orang-orang yang beriman
dan orang-orang yang tidak beriman sebagai konsekuensi dari penerimaan dan
penerapan sistem islam.
Warga negara secara umum merupakan anggota dari negara yang
mempunyai kedudukan khusus terhadap negaranya.Ia mempunyai hak dan kewajiban
yang bersifat timbal balik terhadap negaranya. Sehingga sebagai warga negara
yang baik seseorang akan terlebih dahulu mendahulukan kewajibannya sebagai
warga negara dan pada meminta haknya terlebih dahulu.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Warga negara dalam
negara Islam klasik merupakan sekumpulan manusia yang dipersatukan oleh suatu
rasa persamaan dan yang sama-sama mendiami suatu wilayah, yang dalam periode
awal Islam dikenal dengan istilah ummah. Para Ulama Fiqh membagi kewarganegaraan
menjadi dua, yakni muslim dan non-muslim. Orang non-muslim terdiri dari
al-dzimmi, musta’min, dan harbiyyun. Penduduk dar al-islam terdiri dari muslim,
alhl al-dzimmi, dan musa’min, sedangkan penduduk dar al-harb terdiri dari
muslim dan harbiyyun. Asas kewarganegaraan dalam negara islam klasik adalah
kesamaan akidah. Semua orang yang beragama Islam adalah warga negara Islam
dengan tidak melihat perbedaan warna kulit, ras, bangsa, bahasa, maupun asal
usul orangtuanya
Pada zaman modern, terutama setelah diumumkannya deklarasi hak
asasi manusia, sistem kenegaraan di dunia burubah secara
signifikan.Kewarganegaraan seseorang sudah tidak didasarkan kepada kesukuan,
ras, dan bahkan agama. Seseorang akan menjadi warga negara jika ia dinyatakan
sah secara hukum suatu negara sebagai warga negara. Kewarganegaraan juga dapat
diperoleh dengan cara permohonan kepada negara yang bersangkutan, tanpa memandang suku, ras, atau
agama.
Kewarganegaraan dalam islam klasik dapat hilang karena murtad, juga
ahl al-dzimmi yang melanggar perjanjian atau menetap di dar al-harb. Sedangkan
dalam negara modern, kewarganegaraan dapat hilang karena pelepasan atau
penolakan melalui pencabutan atau tinggal lama diluar negeri.
END NOTES
[1] Abu A’la al-Maududi, Hukum dan Konstitusi : Sistem Politik Islam, Penerj. Asep Hikmah,
(Bandung : Mirzan, 1995), h. 270.
[2] Abdullah Ahmad al-Naim, Demokrasi Syari’ah
: Wacana kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam
Islam, Penerj. Ahmad Suaedy dan
Amiruddin al-Rany (Yogyakarta : LKIS, 2001),
h. 336-337.
[3] Majjid Kadduri, Perang dan Damai dalam Islam, Penerj. Sjaukat Djajadiningrat (Jakarta : Usaha
Penerbit Djaja Sakti, 1961), h. 161-162.
[4] Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), h. 115.
[5] Abdul Aziz, Jurnal Studi Islam mengutip dari
Abu Bakr Ibn Mas’ud al-Kasani, Bada’i al-Sana’i j.3, (Beirut : al-Maktabah al-Shamilah,
tt.), h. 302
[6] Sebenarnya istilah Dar al-Islam dan Dar
al-Harb tidak digunakan dalam Al-Quran dan Hadis. Istilah dar al-harb digunakan
dalam kitab Shahih Bukhari, tetapi itu digunakan hanya sebagai judul dalam
pasalnya, yaitu “Ketika Seseorang Memeluk Islam di dar al-Harb”, dan sama
sekali tidak terdapat dalam Hadis yang ada dipasal tersebut. Lihat Akh.
Minhaji, “Hak-Hak Asasi Manusia dalam Hukum Islam : Ijtihad Baru tentang
Posisi Minorita Non-Muslim” dalam Antologi Studi Islam : Teori dan Metodologi,
(Yogyakarta : Sunan Kalijaga Press, 2000), h. 354
[7] Abdul Aziz, Jurnal Studi Islam, mengutip dari
Akhmad Minhaji, Hak-hak Asasi Manusia
dalam Hukum Islam, Penafsiran Baru tentang Posisi Minoritas non-Muslim, (
Ulumul Qur’an 2, 1993), h, 22.
[8] Abdul Aziz, Jurnal Studi Islam, mengutip dari
Fahmi Huwaydi, Demokrasi, Oposisi dan
Masyarakat Madani, Penerj. Muhammad Abdul Shaffar (Bandung : Mizan,
1996), h. 21.
[9] Ibid., h. 23
[10] Abdul Aziz, Jurnal studi Islam mengutip Abd
al-Qadir Audah, al-Tashri
al-Jana’i fi al-Islam jus-1, (Beirut
: Mu’assasah al- Risalah, 1994), h. 307.
[11] Harun Nasution dan Bachtiar Effendi, Hak
Asasi Manusia dalam Islam, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1987), h. 53-54.
[12] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah
“Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam”, (Jakarta : Prenadamedia Group,
2014), h. 269.
[13] Ibid., h. 270.
[14] Ibid., h. 271.
[15] Said Agil Husin Munawar, Hukum Islam dan
Pluralitas Sosial, (Jakarta : Penamadani, 2004), h. 187
[16] Muhammad Iqbal, Op. Cit., h. 273.
[17] Nurcholis Majid dkk, Fiqh Lintas Agama :
Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta : Paramadina, 2004), h.
149.
[18] Muhammad Iqbal, Op. Cit., h. 276.
[19] Ibid., h. 277.
[20] Ibid.,
[21] Ibid., h. 278.
DAFTAR
PUSTAKA
al-Maududi, Abu A’la. Hukum
dan Konstitusi : Sistem Politik Islam, Penerj. Asep Hikmah. Bandung :
Mirzan, 1995.
al-Naim, Abdullah Ahmad. Demokrasi Syari’ah : Wacana kebebasan
Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam,
Penerj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin
al-Rany. Yogyakarta : LKIS, 2001.
Aziz, Abdul. Jurnal Studi Islam.
Husin Munawar, Said Agil. Hukum
Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta : Penamadani, 2004.
Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah
“Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam”, Jakarta : Prenadamedia Group,
2014.
Kadduri,
Majjid . Perang dan Damai dalam
Islam, Penerj. Sjaukat
Djajadiningrat. Jakarta : Usaha Penerbit
Djaja Sakti, 1961.
Majid, Nurcholis dkk. Fiqh Lintas
Agama : Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Jakarta : Paramadina, 2004.
Nasution, Harun dan Bachtiar
Effendi. Hak Asasi Manusia dalam Islam, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1987.
Yamin, Muhammad. Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982.
0 komentar:
Posting Komentar